Ditulis Anita Aprilia
sumber Si Acéng |
Derap langkahnya terkesan arogan dan dibuat-buat. Aku hanya
sebagai anak dari induk semang yang tunduk dalam setiap arahan dari
mulutnya. Selepas ini bicaraku pasti mendapat cibiran dari
orang-orang penting ujung sana. Belum lagi tugasku selesai aku hanya
dapat bersimpuh lekang di kaki orang - orang itu. Mulutku ditutup,
tanganku dibiarkan dalam ikatan teramat kuat. Dipaksa untuk berbicara
dalam rekayasa cerita yang dibuat dalam mata obyektifitas sang induk
semang. Aku hanya tertunduk menunggu saat yang tepat untuk
menghakiminya. Menghakimi lewat goresan - goresan tinta hitam yang aku
buat untuk menyadarkan mereka bahwa aku dan kami adalah bagian dari
mereka.
Aku sungguh tak kuasa. Sapuan pena tinta hitam ini sudah merasa
digerakkan oleh orang - orang itu. Aku sungguh tak mau mengalah dan tak
akan bisa berpasrah dengan keadaan. Lantanglah suaraku saat ini.
Corongku sudah tersumbat oleh obsesi - obsesi gila orang di luar.
Terhalang dalam kekacauan di depan pintu masalah. Percuma mengumbar
aroganisme jikalau gertakan itu hanya sebuah imajinasi pencitraan.
“Kau buat kandangmu sendiri dan kau hancurkan dengan sekali
sapuan angin yang kau lontarkan” aku bergumam. Dan hanya itu yang
dapat kuperbuat. Di tempat ini, tanah peraduan ini. Aku menjelma
menjadi seorang serdadu perang. Bukan perang melawan kekacauan tapi
perang melawan kemunafikan. Mulutku kembali terkunci tapi yang jelas
tanganku tetap bergerak mengusik kehidupan sekitar dengan celotehan
kecil sekat garis bermakna. Jeritan ini tak perlu berakhir dalam
gamang ketidakadilan. Perlu sentuhan lembut untuk melunakkan
segalanya. Serangan fajar ku buat dalam hening suasana pagi. Kertas
ini bergerak secara realistis memompa gerakan setiap pembacanya.
Sang induk semang kembali berkutat dengan kekuasaannya. Di tanah
abu - abu ini aku bercengkrama melawan sorotan tajam dari berbagai mata
penyelidik. Intuisiku bekerja lebih kuat dari biasanya. Gempuran
massa bekerja sama mencuri kebebasanku. Aku tersenyum kecut. Katanya
suatu ketika “Tinta emas ini akan bercahaya apabila kau
memantulkannya di tempat yang gelap. Kau hanya sebagai rakyat yang
mencoba membuat terang segalanya”
“Terakhir kali aku mencobanya hanya berisikan makian dan hinaan
dari orang - orang itu” perlu sedikit waktu aku memahaminya. Pedang
tajam kembali mereka hunuskan untuk menyempurnakan posisi mereka
sebagai pencetak panutan teladan. Aku menangkap maksud ini dengan
santai. Senyum tipis kembali menyeruak di antara bibir mereka. Hinaan
yang mereka masukkan dalam kehidupannya mencoba kembali hadir dalam
rutinitas panjang sebuah perjalanan.
Entah siapa yang memulai perdebatan ini, aku hanya mengangguk
menganggap persetujuan dari mereka hanya sebagian untuk pola
penegakkan. Aku diam seribu bahasa. Mengintai tanpa melihat prosedur
yang jelas hanya akan menambah jerit dalam gejolak hati ini. Segala
upaya begitu keras menodong pergumulan kami. Aku bergidik, mereka
membuat suasana kembali memanas. Jika benar yang terjadi adalah wujud
ketidaksepahaman ini, maka aku dengan hujan aktualisasi permainan
pena akan menyedot perhatian rakyat yang lain menjadi bagian dari
cerita pena ini.
“Seruan untukmu kembali beguncang. Sudah lama kau mencoba tidur
untuk mengerti segalanya. Percuma jika yang kau lakukan tak mampu
merubah sekitarmu. Seperti hilang dalam lautan pasir dan tenggelam
bersama ribuan butir - butir yang lain ”
“Aku hanya cukup melihat dan menuliskan pada setiap lembar
kertas yang kutemukan kosong untuk aku isi” ku jawab perkataannya
dengan semangat memuncah. Untuk terakhir kalinya, aku memanggil
diriku sendiri menjadi tentara di siang bolong. Mencoba bertugas
dalam keadaan berbahaya apapun. Dan menghiasi ketidakteraturan dengan
kalimat-kalimat lugas yang menginspirasi. Aku terhenyak.
Suara kecil ini berbisik melakukan prosesnya sedetil mungkin.
Perlu banyak waktu menyempurnakannya. Kerja pena tak harus melalui
para induk semang itu. Kerja penaku hanyalah sebuah simbol akan
kebebasan yang selama ini telah hilang di tanah peraduanku. Rakyat
butuh pemahaman yang jelas akan hunian yang mereka tinggali.
“Lahanku adalah pena ini, jangan kalian ganggu dengan prinsip
apapun yang kalian pegang. Karena ini adalah dunia kami” aku
memoles kalimat terakhirku di bab akhir kerja pena. Aku kembali
bersimpuh untuk yang kesekian kalinya.
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video, dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar