Jika
berbicara tentang siru tidak habis semalam ataupun sehari, tahun 1920
– 1980 orang – orang disiru senang jika makan gandum, jagung,
atau dulu namanya latung mesak, wesang, latung cero, jika dulu
penyajian makanan dengan piring hanya untuk kalangan orang – orang
berada atau “ata bora”, ayah bercerita setiap pagi juga sore saat
– saat tepat didepan lutut ada deretan gelas kopi kopi samping
dulang atau talam ada ubi talas siap santap disaksikan oleh “ine”
dan adik – adik dan tamu – tamu yang setiap hari berkunjung
kerumah lendo diperbatasan desa siru tentang sesuap makanan ala desa
menggunakan penyajian leke; kulit luar dari kelapa yang dibuat halus
menggunakan parang, biasa dipakai sehari – hari untuk berladang di
kebun – kebun, menebang kayu – kayu besar hal biasa tidak berat
dilakukan anak – anak seusia belajar dan masih senang – senang
anak para politisi dikabupaten, di profinsi dan di senayan, beda
dengan anak – anak desa bergelut dengan panasnya matahari ditengah
hamparan tanah yang panas kering kerontong untuk meneruskan
kehidupan, pagi pergi ke kebun – kebun, malam pulang dari kebun –
kebun, belum tentu mendapatkan hasil secara materil yang bisa dibawa
pulang hari itu, kehidupan yang sangat miris dan memperihatinkan,
nenek – nenek lanjut usia sore tadi baru pulang dari kebun ada
“roto” dipundaknya menggendong harapan – harapan perut dan
seberkas senyuman manis anak – anak, cucu – cucu, menantu
dirumah. Kakek abdul wahab pagi ke kantor desa memenuhi panggilan
aparatur desa, setelah menerima titah aparatur desa, pulang menyusuri
jalan setapak membelit bekas langkah – langkah kaki orang desa,
menyebrangi sungai yang tak dangkal baru sampai setengah sungai
beriak, jatuh tergesir batu kecil yang licin, sekujur badan jatuh
merembab terhanyut oleh arus yang tidak deras melewati kedalaman –
kedalaman sungai tempat orang sering merendam pancingan mereka,
melewati aliran sungai – sungai dangkal namun terjal, dulu
menakutkan sekarang hal biasa bagi anak – anak yang telah menjadi
usia remaja, akhir – akhir abad 21 ini sungai – sungai banyak
menelan korban, berbagai mitos tersebar di seluruh lapisan ro’eng
manggarai raya, ada buaya yang marah besar dengan prilaku manusia
yang tidak bersahabat dengan “kakar tanah”, dari mulut – mulut
ro’eng manggarai raya bahwa kakar tanah mengklaim sebagai pemilik
sah atas wilayah sekitar perarairan sepanjang bangka siru, ro’eng
siru mandapatkan ikan – ikan enak hasil tangkapan dari pancingan –
pancingan namun tidak pernah meminta secara adat istiadat, tura ngara
tanah menurut sumber dari mulut – mulut ro’eng manggarai raya
akhirnya pihak kakar tanah murka pada ro’eng bangka telu’ yang
ditambah lita; siru – beo, bara, mboleng, dan lita, sore itu sungai
yang sering dilewati orang – orang yang bertujuan ke kampung
pedalaman siru – waewako sebelah barat sungai memiliki kedalaman
dapat menenggelamkan orang – orang dewasa siswa kelas tiga madrasah
tsanawiyah jabal nur tenggelam, sebelumnya ingin belajar berenang
bersama teman - teman siswanya asal lembor raya, perlahan – lahan
dari kedalaman dangkal hingga menenggelamkannnya, berani namun tidak
bisa mengukur kemampuan diri untuk menghalau kedalaman sungai,
setelah itu ramai berdatangan mencari mayat hingga lima jam, setelah
adik mas’ut selam dalam waktu yang lama dan mengangkat mendiang
siswa madrasah itu yang telah banyak minum air perutnya naik buncit,
kayu bakar dikumpulkan untuk membuat api unggun saat kepulan asap
dikepung oleh kerumunan manusia – manusia siru mayat diasap namun
nihil, sank khalik tidak berpihak pada harapan – harapan manusia
yang diselimuti harapan – harapan kosong, hati gusar setiap jiwa
sibuk mencari sarung, bambu untuk membopong mayat kerumah sakit allah
swt telah mencabut roh anak itu.
Dulu
mengetam padi diladang – ladang dikelilingi hutan lebat, memanen
jagung dikebun – kebun dataran tinggi, di kebun – kebun yang
dipadati bebatuan pecahan seperti sebelumnya terjadi erupsi letusan
gunung, keadaan alam menjawab searah mitos tentang ledakan besar
sebelum indonesia berpecah menjadi negara kepulauan, jika sebelum
terbentuknya bumi maka ada bigbang atau ledakan besar membentuk
kumpulan batu – batu besar yang belum sempurna memproses dirinya
ada di manggarai raya tepatnya di bangka siru, jika anda pergi
diladang – ladang garapan d’ro’eng lembor akan menemukan
pecahan bebatuan kecil juga besar hampir menutupi tanah subur
ditumbuhi jagung hibrida, padi unggul khas suku pedalaman siru, ada
lagi latung mesak yang memanjakan mata – mata anak desa bermain
menyela pepohonan gandum yang rimbun dari kejauahan menimbun batu
yang menjulang dari tanah subur, ada jalan setapak yang telah digalih
alat besar milik china lembor manggarai supaya kendaraan –
kendaraan besar juga berat melewati tumpukan batu campur tanah,
seperti dumtrack, berdowzer, ekspedisi angkut kayu – kayu kelas
wahit yang telah dibeli murah dari petani ladang, bapak – bapak
pemilik kayu telah bertahun – tahun merawat menghabiskan dana cukup
banyak, menguras tenaga sehingga ada letih di ujung raut wajahnya,
karena utang anaknya yang tidak sukses sehingga membuatnya menjual
tanah dan kayu jati, mahoni yang harganya lebih mahal dari sekolah
anak – anaknya, biaya pengobatan, biaya kedidupan masyarakat adat
istiadat, biaya kesejahteraan yang tidak mampu dibelinya, biaya mahar
kawin yang dibayar kepada pihak perempuan, biaya denda adat istiadat
yang dipiuatang, biaya kecelakaan yang menimpa keluarga – keluarga
miskin.
Pagi kami beramai – ramai mendatangi keran PDAM tahun 1993
bapakku selalu pergi sebelum ayam berkokok juga pulang sebelum orang
– orang tidur di watu lendo siru sebutan anak – anak yang lari
dengan telanjang dada juga telanjang paha sampai telapak kaki,
“ole..... ole sipatu ole nyanyian cita rasa anak – anak yang
diujung hidungnya ada gumpalan ingusan yang belum dibersihkan oleh
ibunya yang sibuk disawah juga diladang, kami selalu berebutan nomor
satu untuk mandi sebab jam 08.00 baru minum kopi dan ditangan kiri
dan kanan menggenggam ubi talas dan ubi jalar, “oe
aku olo cebong da, rebao aku ndo’o ga, toe ita gayung sabun, sampo,
sikat, odol gaku wa hitu lau”
berdalih kepada teman yang telah merebut tempat di pagi juga sore
saya kecil, “sebentaraja saya kucek ini”,
cloteh dari perempuan gendut, ada nenek samping rumah yang selalu
ingin menang sendiri setiap pagi, pelajaran pertama yang saya fahami
tentang “tirani
kecil besar kepala”
bahwa karena disamping rumahnya posisi keran air PAM yang kami timba
secara psikologis dia menganggap bahwa besar haknya dia memiliki
leluasa untuk memperlakukan keadaan aset umum seolah aset pribadi,
itu dulu saat orang – orang menerima semua ketentuan – ketentuan
aset umum menjadi aset pribadi sebagai keberpihakan orang – orang
lemah kepada penguasa, kritik tak bisa dilontarkan sebebas fase
reformasi hingga demokrasi prosedural – struktural membentuk
karakter manusia liberal tak memilik eksistensi hidup bernegara yang
diwariskan leluhur, fase 1992 – 1999 semua manusia di desa mengenal
- mahir pembagian lahan secara prosedural masyarakat adat, tu’a
golo sebagai kedudukan tertinggi otoritas pembagian, ada “lodok
one” “lingko pe’ang/cicing pe’ang” diterima diwariskan
membentuk struktural masyarakat adat berkarakter mewarnai kekayaan
warna budaya nusantara, pembagian tanah pada dua etnis besar “tere
agu ndahe” juga etnis baru tambahan berkembang pesat; pa’ang,
jombok, juga etnis kecil yang mengukuhkan diri sebagai kekuatan siru
dalam menciptakan karakter masyarakat adat sebagai fondasi peradaban
yang telah lama melewati fase perkembangannya. Ada banyak suku
pendatang yang berdatangan dan menempati wilayah siru, misalnya dari
ende flores timur, ada dari bima timu profinsi NTB, jawa membeli
lahan di siru setelah membangun rumah menetap dalam waktu yang lama
struktur masyakat yang bercampur baur berkembang pesat, tanda –
tanda kemajuan itu menciptakan multicultural dalam kelas – kelas
lapisan masyarakat membentuk karakter pergaulan masyarakat siru.
Jika
ditanya etnis yang berkuasa, dalam kelas masyarakat pembagian etnis
ro’eng adat ada empat ;
- Tere: etnis pu’u petama secara garis keturunan dalam historis d’ro’eng adat siru.
- Tere asli pu’u: memiliki historis perkawinan silang dengan dalu todo manggarai pu’u “asal muasal d’ro’eng manggarai jika diturunkan dalam runutan silsilah perkawinannya, juga melakukan perkawinan silang dengan dalu reok. Tere pu’u pemilik sah bangka manga siru “beo siru” yang kemudian diikutkan woenya anak winana “etnis ndahe” sebagai pendamping dalam kehidupan di bangka manga “le beo siru” sehingga etni ndahe selalu berdampingan dengan etnis ndahe dalam kelas strata sosial kehidupan disiru.
- Tere lenga, angkom le tere pu’u/ diayomi oleh tere pu’u
- Tere sesok, ankom le tere pu’u/ diayomi oleh tere pu’u
- Tere ker, angkom le tere pu’u/ diayomi oleh tere pu’u
- Ndahe: etnis kelas kedua dalam struktur masyakat adat historis ndahe dalam kelas masyakat adat dari tere berawal dari pernikahan anak perempuan etnis tere dikawinkan dengan anak laki - laki etnis ndahe tungku anak dise to’a. Etnis ndahe berkembang pesat seantero manggarai raya, yang menguasai birokrasi desa siru etnis ndahe, etnis ndahe memainkan peran dalam keberlangsungan hidup secara umum d’ro’eng siru mese: secara sakral pende dise tae danong mulai one tu’a golo, tu’a gendang, tu’a panga, tu’a kilo di isi oleh etnis ndahe, kepala desa selalu dimenangkan oleh etnis ndahe karena secara personal/kuantitas – kualitas etnis ndahe selalu diatas etnis lainnya.
- Pa’ang: etnis turunan ndahe anak perempuan ndahe dikawinkan dengan anak perempuan etnis pa’ang berdasarkan ketetapan dan kesepakatan kraeng – kraeng one ndahe.
- Jombok: etnis turunan pa’ang, anak perempuan pa’ang dikawinkan dengan anak laki – laki jombok. Pa’ang sebagai ineame jombok sebagai woe de pa’ang.Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar