السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Kita tak bisa memastikan kapan akan Mati - Yang pasti bahwa semua akan Mati "Orang paling pandai orang yang paling ingat akan masalah kematian (Sabda Rasulullah saw.)"

Pengacara Dipuji dan Dicemooh

Kita sering menyaksikan diskusi para lawyer yang tergabung dalam Indonesian Lawyers Club (ILC) melalui layar kaca TVOne. Penonton disuguhi debat sengit di antara para praktisi hukum tersebut.

Walaupun mereka sama – sama berprofesi sebagai lawyer, tetapi mereka tidak mempunyai pendapat yang sama mengenai suatu masalah yang sedang mereka diskusikan. Orang Jerman bilang: “Noch Suchen Die Juristen Eine Definition Zu Ihrem Begriffe Von Recht” (para ahli hukum tidak mempunyai definisi yang sama tentang apa itu hukum).

Alasannya, para lawyer itu mempunyai cara pandang dan latarbelakang yang berbeda dalam memandang hukum, bahkan dalam memahami persoalan tertentu. Ya, seperti kata orang Romawi: “Actor Sequitur Esse” (orang berperilaku, berbicara atau ber-argumentasi selalu mewakili keberadaannya).

Ada lawyer yang melihat hukum itu sebagai rentetan pasal-pasal belaka. Sedangkan lawyer lainnya memandang bahwa pasal-pasal atau undang-undang hanyalah salah satu sumber hukum dan bukan sumber hukum satu – satunya dalam menyelesaikan suatu persoalan dalam masyarakat. Artinya masih sumber hukum lainnya: hukum adat, doktrin hukum, yurisprudensi, perjanjian atau traktat internasional dan sebagainya.

Memang, tidak semua orang, terutama orang yang awam hukum, bisa begitu mudah menerima perbedaan pendapat di kalangan lawyer itu. Masyarakat pun main pukul rata saja bahwa lawyer itu adalah kumpulan orang-orang yang lihai dalam berdebat atau suka membantah dan menyangkal.

Penilaian seperti itu adalah bukti bahwa di dalam pikiran masyarakat awam bercampur aduk rasa hormat dan ejekan terhadap pengacara. Dalam situasi dan kondisi tertentu para lawyer itu dihormati dan dipuji.

Itu karena memang kebanyakan dari mereka menempati posisi tinggi, tidak saja dalam organisasi profesi mereka tetapi juga dalam instansi pemerintahan, instansi penegak hukum (kejaksaan, pengadilan bahkan kepolisian). Mereka juga jadi konsultan hukum di perusahaan – perusahaan swasta nasional maupun perusahaan asing.

Lawyer pun dicari kaum awam hukum untuk dimintakan pendapat hukumnya bahkan pendampingan saat masyarakat awam menghadapi masalah-masalah hukum. Tetapi pada saat yang sama, para lawyer juga diejek dan dicemooh. Mereka sering dicap sebagai ahli silat lidah bahkan dicap penipu.

Jerome Frank (1889-1957), seorang filsuf hukum, mantan hakim, pengacara terkenal dan intelektual bidang hukum, dalam bukunya berjudul Law and The Modern Mind memberikan penjelasan yang cukup panjang mengapa profesi lawyer itu dicintai, dicari, dipuji dan dihormati? Tetapi mengapa pada saat yang sama, para lawyer justru dicela, diejek bahkan dicaci maki?

Jerome Frank bilang, tidaklah sulit untuk menjelaskan mengapa pengacara begitu dihormati. Sebab, pengacaralah yang mempertahankan prinsip-prinsip dan asas-asas keadilan, merekalah tempat kaum awam mencari perlindungan hukum, tempat kaum awam mempertahankan kesucian hak milik mereka dari rampasan pihak lain. Inilah lahan pelayanan para lawyer di tengah masyarakat. Fungsi – fungsi semacam ini yang memberikan martabat kehormatan kepada pengacara.

Tetapi mengapa pada saat yang bersamaan, rasa hormat pada profesi lawyer itu, muncul pula penghinaan atau sinisme pada profesi pengacara itu sendiri? Martin Luther King pernah mengatakan: “seorang pengacara yang baik, pastilah ia seorang penganut agama kristen yang paling buruk”. Itu dia ungkapkannya pada abad ke-16.

Komedian panggung selalu membuat orang bisa tertawa dengan permainan kata – kata mereka, termasuk bagaimana para komedian memandang profesi pengacara itu. Di mata para komedian, pengacara itu identik dengan pembohong. Bisa terlihat dari salah satu bait puisi dari komedian Gay berikut:

“Aku tahu kalian para pengacara.

Dengan keahlianmu, kamu bisa dengan mudahnya memelintir kata – kata

Dan memberikan arti pada kata – kata itu dengan sesuka hati kamu.

Dengan keahlianmu, bahasa menjadi beku dan liat.

Kamu pun dapat membuat klienmu bertekuk lutut di hadapanmu”.

Josh Billings justru tidak sabar dan tidak perlu memakai kata yang berputar – putar untuk mengungkapkan ketidaksukaannya pada profesi pengacara itu:

Menyelesaikan suatu masalah melalui ranah hukum.
Dengan menggunakan jasa pengacara bagaikan menguliti sapi yang baru menghasilkan susu. Peternak mendapatkan kulitnya, sedangkan dagingnya diberikan kepada pengacara”.

Dalam bukunya berjudul “Hudibras”, Butler mengemukakan sinismenya terhadap profesi pengacara:

“Orang yang sudah mengalami kerugian, tetapi justru minta jasa pengacara untuk mendapatkan pertolongan, adalah orang-orang yang lebih pandir daripada orang – orang Skotlandia. Mengapa? Orang Skotlandia, kalau ada seorang pencuri yang telah merampok seluruh isi rumahnya, ia justru mencari dan meminta bantuan pada orang yang licik dan rakus harta, untuk membantunya mendapatkan barang-barangnya lagi”.

Tanpa tedeng aling – aling, Arnold Bennet mencela profesi pengacara:

“Pengacara adalah musuh paling jahat dalam perkembangan sosial saat ini”. Ia senafas dengan Ambassador Page yang mengatakan: “Saya kadang berharap tidak pernah ada pengacara di dunia ini”.

Semua cemoohan, sinisme, ejekan itu berangkat dari pengalaman pribadi orang – orang awam hukum di tengah masyarakat bahwa para pengacara itu sering bermuka dua, berperilaku “karaoke” (kanan kiri oke), mengabaikan konflik kepentingan dalam menangani perkara. Perkataan – perkataan yang mereka ucapkan sering bermakna ganda.

Mereka juga sering terlibat dalam penipuan dan permainan bisnis perkara. Berargumentasi berputar-putar semata-mata untuk menyelamatkan klien mereka tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, dan akhirnya mereka tenggelam dalam praktek kemunafikan.

Di sinilah tantangan bagi para pengacara bagaimana mereka memantaskan diri dalam berperilaku di tengah masyarakat. Untuk meminimalisasi penilaian negatif dari kaum awam maka para lawyer seyogyanya memegang teguh etika profesi bahwa profesi bukan semata-mata sebagai sumber nafkah tetapi dari itu bahwa profesi sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri dan sarana untuk melayani sesama demi tercapainya kesejahteraan bersama (bonum commune).
Kraeng Edi Danggur, Jakarta.

Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono

Tidak ada komentar:

Baca juga topik dibawah ini:
Lihat kamus di Beranda!
DAFTAR EMAIL KAMU UNTUK BERLANGGANAN UPDATE Ujung Pena NS