Pertengahan tahun 2013 memutuskan untuk pergi dari jogja
hijrah kepulau dewata ada banyak alasan yang membuat melangkahkan kaki ke pulau
seribu pura itu, situasi perekenomian adalah masalah klasik setelah mendiang
ayah “Musrikin = matahari Not mus’y’rikin= syirik/mengingkari
allah.swt” “didalam Al – qur’an Musrikin artinya ‘matahari’,
sedangkan Musyrikin artinya orang – orang yang mengingkari allah/syirik
pada allah swt.” meninggalkan saya dan keluarga, tidak hanya kehilangan
sosoknya yang arif bijaksana situasi ekonomi pun menyengsarakan kehidupan
dirumah, keluarga berantakan, antara keluarga dari ayah sangat lelah menerima
bualan, ocehan, dan sindiran warga dirumah yang membabi buta dalam waktu yang
sangat lama, begitu pahit, sakit, perih, malu tak tertahan namun saya dan adik
– adik hanya mendengar, merasakan tanpa bisa mengelak atau membela diri,
berkepanjangan dihantui perenungan sembari merefleksikan diri masa sekarang
dibandingkan dulu “inikah karma yang allah berikan jika seorang ayah meninggalkan buah hatinya diusia yang
masih sangat kecil belum bisa membela diri ataupun mengatakan yang sebenarnya
apa yang terjadi atau apa yang ditutupi”. Saya masih ingat jelas umur saya
3 - 5 tahun permulaan kehidupan keluarga berangsur membaik harmonis apalagi
ayah yang begitu bekerja keras, telaten, mandiri hemat namun dermawan pada
kehidupan keluarga dan lingkungan lingkup hidupnya, walaupun rumah kami waktu
itu terbuat dari dinding – dinding pering atau bambu, alas tanah yang halus dan
menggungpal karena disirami air sisa – sisa cuci piring setiap pagi, siang, dan
sore, atap dari ilalang yang setiap sebelum musim hujan harus bersusah payah
mengumpuli ilalang di padang rumput biasanya ayah membayar paman atau
keluarganya yang biasa mengayamnya untuk dijadikan atap dan tiang dari kayu
warna merah atau cepang yang tahan terhadap rayap namun keadaan dalam rumah
sangat bahagia melewati hari – hari rasanya tak kurang suatu apapun, setiap
hari makan ikan yang segar – segar yang dijual langsung sendiri pemancing
dilaut dan ikan – ikan tawar yang baru ditangkap oleh pemancing di air tawar,
setiap pagi sekali saat saya meniupkan atau mengeluarkan udara dari mulut
seperti terlihat uap yang berhembus hingga lenyap terurai angin segar pagi
berhembus meyaksikan eksistensi klasik dimasa – masa manusia saling akrab dan
kekeluargaan didaerah ketinggian yang begitu dingin mengingat masa itu
membuatku sangat rindu masa – masa kecil, biasa mendiang ayah sudah menyiapkan
air panas dicerek – cerek yang di simpan diatas kursi – kursi kayu jati dan
termos – termos pemanas air semuanya terisi penuh, gelas – gelas kaca dan mok
sudah diraciki kopi kedelai, kopi jahe, kopi beras jahe, kopi asli dan teh sari
wangi berbunyi dituangi air panas yang menguap hingga aroma kopi dan ubi talas
yang menembus keluar dinding – dinding bambu, saya dan ketiga adik – adik yang
masih sangat kecil sedang mebakar ranting – ranting dan dedauan lapuk yang
gugur sisah musim semi kemarin yang lembab dipagi hari, sangat mengenal aroma
khas setiap pagi itu racikan kopi ine rigit panggilan semua kami dari anak –
anak ine ni iya yang melahirkan kedua adikku dan merawat satu adik perempauan
anak tanta almarhum saudari kandung mendiang ayah “mai taung ga nana, inu
inung kopi teh laing ca kolang er tete wogor au tete wase so’o mai ga”
itu suara ayah dan ibu yang bergantian sahut memanggil kami diluar yang hanya
lebih menikmati aroma kopi, teh, ubi talas dan ubi kayu serta sensasi bau ranting
dedaunan yang perlahan – lahan dilahap api yang tak besar namun perlahan –
lahan menghanguskan ranting – ranting yang beraroma klasik dan membuat adik –
adik menikmati hangatnya “pesu api= sensasi menghangatkan badan dengan
membakar ranting – ranting, dedaunan kering sembari minum kopi, isap rokok,
atau minum kopi sehabis bangun pagi” yang biasa dilakukan oleh anak – anak didesa
kami dan dikota tidak ada.
Setiap pagi saat kami sekeluarga rumah tengah menikmati
hidangan khas keluarga sajian ine rigit ada saja tamu yang langsung kedapur
turut menikmati sajian selera ine ema aku weta agu ase baik tetangga yang biasa
setiap pagi kerumah ataupun yang datang dari kejauhan, saya melihat mendiang
ayah dan ine rigit sangat senang kedatangan tamu itu, saya dan adik merasakan
begitu diperlakukan istimewa tamu – tamu itu tanpa pandang bulu baik keluarga
dekat ataupun yang jauh bahkan tidak jarang sering dibekali makanan dan uang
saat pulang kerumahnya atau apa saja kebutuhan yang dituturkan si tamu mendiang
ayah agu ine rigit pasti mengabulkannya walaupun saya tau dibelakang – belakang
ine rigit kesal sama mendiang ayah yang begitu murah dan mudah memberi begitu
saja kepada tamu tanpa memperhitungkan kebutuhan keluarga yang tekor karena
jatah kami terpaksa tunda bahkan tidak jarang tidak ditunaikan karena prinsip
ayah yang penting Ndo’o one seka di rumah ini bisa makan dan
kalau uang sekolah nanti biar cari lagi untuk membiayai anak – anak dan
kebutuhan rumah yang lain. Begitu terus hari – harinya ayah selalu diomeli ine
rigit karena sifatnya yang terlalu derma dan murah tangan.
Saya sering
bertengkar kecil dengan satu adik laki - laki saya karena kalau dibelikan
mainan hanya satu saja untuk dua anak laki – laki, saya dan suwar karena ayah
dengan sikapnya tanpa kurang kata - kata mengajarkan kami dengan keras namun
sangat bijak masalah materi kami tidak diberi lebih bahkan tekor, prinsip ayah
yang penting bisa makan dan kalau sakit kami bisa berobat dan setiap hari bisa
minum kuning telur campur madu masing – masing seperempat gelas kaca yang
tersedia ukuran rumah semua dirumah dapat jatah, makan ikan laut, ikan air
tawar, ubi, ayam hutan atau rata, ayam pelihara, kaba ciang, manuk wontong,
ruha wontong yang sering didapatkan oleh om atau paman adik ibu dari kampong
mereka waktu berlalu.
Bersambung. . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar