Jadi suatu ketika saya mendegar dari mulut
seorang yang kutemui dijalan protokol di jogja, pesan yang sangat membekas
dihati, saat mendengarkan seolah air keheningan hidup selalu menyirami
kegersangan hati saya, efek dari nasihat orang dijalan itu saat saya iseng
bekerja salah satu lesehan dipinggiran jalan besar dijogja, selama 3 hari saya
kerja disitu jam 07.30, obrolan kami dimulai dengan sapaan dari bapak itu hari
kedua saya kerja, "mas kamu baru disini ya?" suaranya bertanya,
"iya pak" jawabku dengan lirih cara saya merendahkan hati sembari
menundukan kepala pada bapak yang berumur separuh bayah itu, "oh berapa
gajimu mas?" tanyanya kembali "lapan puluh lima pak" jawabku,
"oh besar itu" tandasnya sembari menengadahkan kepalanya kelangit -
langit yang tak biru pagi itu, dan dingin hembusan pagi yang tak bersahabat
dengan pori - pori lemah kulit kaum papah, "kamu harus bersyukur mas, kamu
punya gaji besar aku saja yang sudah hampir 37 tahun disini pendapatanku /hari
cuman 150ribu rupiah" dia diam sejenak sebelum melanjutkan nasehatnya
menyulut rokoknya yang sejak dari tadi di elus - elusnya, "iya sih pak
benar, tapi masa cuman lapan puluh lima dan 150 ribu aja bapak senang untuk
pendapatan perhari yang belum dihitung dengan pengularan dan investasi jangka
panjang" suaraku dalam hati, aku tak tega membantahnya karena penalaranku
jauh sekali dari dunia perkiraan logika kehidupannya sebagai manusia indonesia
yang lemah, setelah tengok sana - sini tak ada yang menghampiri bengkel tambal
bannya tangannya digerakkan kepala sambil menengadah kepala kembali, diraihnya
gelas kopi yang tepat disampingku, sembari melontarkan suara
"mas aku minta kopi kamu ya".
"iya pak, ambil saja' mau aku buatkan yang baru untuk bapak" tawarku padanya,
"nggak usah mas, ini aja" "ya udah pak, tapi aku uda minum
sedikit loh pak"
"nggak apa - apa mas" suaranya melas, sambil membersihkan kelopak mata kiri - kanannya yang masih membekas kotoran bulat - bulat kecil yang menggumpal lunak dan keras sekeras hati penguasa pada orang lemah.
"nggak apa - apa mas" suaranya melas, sambil membersihkan kelopak mata kiri - kanannya yang masih membekas kotoran bulat - bulat kecil yang menggumpal lunak dan keras sekeras hati penguasa pada orang lemah.
"mas kita hidup di indonesia ini tidak
pernah sejahtera kalau nggak jahat dan kuat" mengagetkanku, "aku
sudah 32 tahun dijalan mas yang ku temui para pejabat membayar preman untuk menjaga keamanannya, supaya aman, makanya korupsi berjalan terus untuk membayar orang - orang kuat yang bodoh itu" orang kuat bodoh,
"mungkin ini menggambarkan kenyataan di orde baru" dalam hatiku.
sudah 32 tahun dijalan mas yang ku temui para pejabat membayar preman untuk menjaga keamanannya, supaya aman, makanya korupsi berjalan terus untuk membayar orang - orang kuat yang bodoh itu" orang kuat bodoh,
"mungkin ini menggambarkan kenyataan di orde baru" dalam hatiku.
"iya pak setuju" aku menghiburnya, mata
keprihatinan bersimbah luka dihatinya, mata merahnya berbicara tentang
kemarahan pengalamannya dimasa lalu, seolah pagi itu dia marah namun saya
memberi ruang - ruang komunikasi pelampiasannya, aku siap mendengarkan bapak
itu pagi itu sampai dia bosan dengan kejengkelan - kejengkelannya terhadap
ketidakadilan negeri yang katanya demokrasi ini.
"yang penting mas sekolah, karena dengan
sekolah kita dapat memahami hidup kita, nganu kita bisa mencari - cari cara
untuk membuat sejahtera hidup sendiri"
"iya pak" sahutku, sambil menatapnya
dengan setengah hati bahagia, karena pagi itu aku sebenarnya lelah sekali kerja
semalam hingga pagi itu nyaris tak pernah istrahat.
"aku pulang dulu ya mas, besok baru kita sambung obrolnya"
"aku pulang dulu ya mas, besok baru kita sambung obrolnya"
sembari melangkahkan kakinya, diberes - beresnya
semua prabot kerja bengkel kecil milik, kemas kemudian pulang.
"hati - hati ya pak dijalan" hentakku
yang sejak dari tadi menatapinya mengemasi prabotnya, dia pun pulang tanpa uang
siang itu, karena dia bekerja di pinggiran jalan tak ada yang memperhatikannya,
tak ada yang bertanya apakah bapak itu sudah mendapatkan hasil dari kerjanya
hari itu.
*******
Lalu aku bertanya tanpa suara pada diriku dan pada manusia indonesia
demokrasikah kita??? Aku tidak punya jawaban yang solutif untuk bapak itu
karena ditangan penguasalah jawaban itu.
Kita indonesia seperti sia - sia kita bernegara di indonesia.
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar