Semoga kamu mengerti pengalamanku.
Pagi tadi baru saja pulang dari event, merasa jengkel dengan sepulang pagi tadi tidak biasanya orang yang kuhargai itu tidak menyapaku setiap pulang malam, enam hari berlalu kami selalu saling menyapa satu sama lain dengan sangat akrab, “Jhon kamu disana ya, nanti pagi aku baru balik kesana “ iya bang” hanya begitu sahutku” begitulah tandasnya setiap jam 02.30 setiap paginya, mulai pagi 08.30 aku sudah stay di taman budaya itu, namun ada yang beda dengan pagi tadi hari terakhir penyelenggaraan event, sembari menggeret tangan istrinya yang sudah lama menunggu disamping kirinya untuk diajak pulang, bola matanya terlihat berat, baru semalam ini saya melihat wajahnya di pendopo depan deretean stand – stand yang sudah kosong, setelah penjual mengemasi barang – barang mereka, depan sebelah kiri tiket box masih ada empat perempuan yang duduk dikursi belakang meja panitia pelayan tiket, bang ali masih mondar – mandir kesana kemarin sesekali berada dibelakang rumah besar budaya, tak ada bang Adhi dibelakang, “jhon ali nengdi” tanyanya padaku, “aku tidak tau om” sahutku, “di depan ada nggak?” tanyanya kemabali “iya om di depan” “oh iya ya, tadi kamu bilang di depan ya” iyakan aku udah bilang om depan, “hahahahahahaha” ngakaknya lebar, ali tipe manusia yang terlihat perfeksionis, tapi dia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan – pekerjaan teknis, badannya besar, rambutnya mengkilt kinclong, kulit – kulitnya itam halus, bola matanya putih dilinggkari oleh itam – itam merah, menggambar dia pemalas, malamnya dihabiskan untuk gadang tidak produktif, dia hanya beruntung diuntungkan oleh kawan – kawan disekitarnya yang bekerja giat, dia ikut keciprat untuk yang tidak disadar oleh kawan – kawannya melibatkan dia untungnya mereka, ketika di depan saya dan kru lainnya tangannya selalu terpangku depan dadanya, sembari melotot kesana – kemari menebarkan kesan bijak dan pahlawan kesiangannya.
Pagi tadi baru saja pulang dari event, merasa jengkel dengan sepulang pagi tadi tidak biasanya orang yang kuhargai itu tidak menyapaku setiap pulang malam, enam hari berlalu kami selalu saling menyapa satu sama lain dengan sangat akrab, “Jhon kamu disana ya, nanti pagi aku baru balik kesana “ iya bang” hanya begitu sahutku” begitulah tandasnya setiap jam 02.30 setiap paginya, mulai pagi 08.30 aku sudah stay di taman budaya itu, namun ada yang beda dengan pagi tadi hari terakhir penyelenggaraan event, sembari menggeret tangan istrinya yang sudah lama menunggu disamping kirinya untuk diajak pulang, bola matanya terlihat berat, baru semalam ini saya melihat wajahnya di pendopo depan deretean stand – stand yang sudah kosong, setelah penjual mengemasi barang – barang mereka, depan sebelah kiri tiket box masih ada empat perempuan yang duduk dikursi belakang meja panitia pelayan tiket, bang ali masih mondar – mandir kesana kemarin sesekali berada dibelakang rumah besar budaya, tak ada bang Adhi dibelakang, “jhon ali nengdi” tanyanya padaku, “aku tidak tau om” sahutku, “di depan ada nggak?” tanyanya kemabali “iya om di depan” “oh iya ya, tadi kamu bilang di depan ya” iyakan aku udah bilang om depan, “hahahahahahaha” ngakaknya lebar, ali tipe manusia yang terlihat perfeksionis, tapi dia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan – pekerjaan teknis, badannya besar, rambutnya mengkilt kinclong, kulit – kulitnya itam halus, bola matanya putih dilinggkari oleh itam – itam merah, menggambar dia pemalas, malamnya dihabiskan untuk gadang tidak produktif, dia hanya beruntung diuntungkan oleh kawan – kawan disekitarnya yang bekerja giat, dia ikut keciprat untuk yang tidak disadar oleh kawan – kawannya melibatkan dia untungnya mereka, ketika di depan saya dan kru lainnya tangannya selalu terpangku depan dadanya, sembari melotot kesana – kemari menebarkan kesan bijak dan pahlawan kesiangannya.
“aku
belum dibayar oleh adhi, dia selalu memberi uang receh padaku untuk
membeli minuman diminimarket terdekat” bisikan hatiku yang tidak di
dengar oleh adhi, aku jengkel, aku marah – marah, padahal aku
sukses menghendel pekerjaanku, banyak yang memuji, dan tidak sedikit
yang pecundang, tidak kerja tapi terlihat bagai pahlawan sejati,
padahal tidak melakukan apa – apa, aku kerja malah mereka melihat
langkah kakiku khendak apa yang akan ku kerja, tidak punya inisiatif,
ketika kuperlihatkan inisiatifku, mereka malah beralih dariku, lalu
ngobrol – ngobrol kecil disampingku bahwa saya nggak ada lelahnya,
padahal aku menyembunyikan lelah sangat dalam dengan selalu
tersenyum, maksudku memberikan contoh pada mereka tentang perjuangan
hidup, bahwa untuk mencapai kesejahteraan hidup harus bekerja keras,
karena prosedural dan struktural di demokrasi di negara ini begitu
menyulitkan rakyatnya, saya mendengar dari aktivis – aktivis yang
faham kesejahteraan bahwa rakyat indonesia harus sejahtera di bumi
pertiwi ini, saya juga melihat pekerja bermalas – malasan, namun
dipercaya oleh perusahaan yang mengelolah uang banyak. Di sayangkan
putaran uang banyak dikelola oleh orang – orang yang tidak mutu,
tidak bobot – bebet, ada lagi mereka tidak memiliki jiwa seni
namun bisa kerja di bidang intertaint, aneh namun kenyataan ini
selalu saja saya lihat di negeri demokrasi prosedural dan struktural
ini, ini bagian kebobrokon cara bernegara yang maju pesat.
waktu itu dipercaya jadi kepala logistik di PT.HAP legian, Kuta Bali. |
“mas
udah punya istri kamu?” suara itu bersumber dari sampingku, ku
tengok oh ada bapak – bapak yang sedang menegok kopi dengan nikmat
disampingku “belum pak” jawabku “tunggu apa lagi mas? udah
sukses begini kok belum punya istri” sambungnya “aku belum sukses
pak ‘hahahaha’ aku masih proses kerja dan sedang menabung pak aku
punya cita – cita yang belum ku raih yang jelas cita – citaku ini
lebih susah sesusah mendarat diplanet oleh amstrong perempuan itu
akan mengejar – ngejar saya nanti kalau aku sukses. “oh iya mas
maf ya” sahutnya kembali, “nggak apa – apa om” sahutku. Aku
teringat seorang konglomerat punya jiwa patriotisme di kota
kebudayaan pernah menasihatiku “jhon kamu buat kaya aja dirimu maka
kamu nanti tidak akan peduli lagi dengan keluargamu yang
menelantarkan dirimu, juga negara yang menelantarkan kamu” “iya
mas” sahutku, kata – kata itu tegas namun aku selalu merindukan
keperibadian seperti itu, walaupun banyak yang menceritakan
keburukannya, tapi bagiku dia baik mengerti bernegara di negara
berantah ini. Aku pasti balik mas kita buat cerita kita biarkan orang
lain memcara cerita kita, cerita tentang cinta, disaat yang lain
mengumbar kebencian dan memperparah konflik di tempat – tempat
sumber penghidupan, dimana – mana ada kejahatan buah dari demokrasi
prosedural – struktural, setan – setan menjelma di jiwa manusia –
manusia otak – hati iblis.
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar