Depan Dekstop Obat Stress
|
Derita penuis jalanan |
Pagi
ini kulakoni kebiasaan sebelum – sebelumnya dibangunan berdiameter
7X5.m sangat membosankan, menjemuhkan, enek dan yang serba tidak enak
menjadi warna bebera hari – hari kelam terakhir, muka – muka yang
sama selalu kutemui, entah angin apa yang membuat semalam tertidur
pulas, yang biasanya tak tidur hingga pagi namun malam tadi rasanya
terlalu sore untuk memejamkan kedua mata, ingin sekali ku teguk
segelas kopi susu pagi ini dengan sebatang atau dua batang rokok
menemani tegukan demi tegukan kopi yang ku nikmati pagi ini, membalas
sapaan fajar yang mulai menyinari bumi yang tak sehangat hari - hari
kemarin, angin bersama uapan embun menambah rasa dingin pagi buta
awan gelap seakan sebentar lagi hujan turun melumpuri tanah yang
menjadi debu kemarin, perasaanku mengikuti irama alam pagi ini
mendung tak menentu akankah turun hujan siang atau sore nanti,
begitupun hati, perasaan, otakku bertanya akankah esok mendapatkan
buah dari tanaman yang telah saya tanam kemarin, kata demi kata
kurangkai sembari mendengarkan pembicaraan cinta via telepon pria
disamping kiri bersama perempuan yang ranum dikejauhan sana, bibir
ranum, leher menggelitik, dada ranum, belahan yang tengah mengusik
nalar – nalar tuangan tulisanku, belahan tengah yang asik katanya
“hahahaha” aduh enaknya. Kutinggalkan sejenak pembicaraan yang
serba enak mereka berdua disampingku, saya teringat pekerjaan yang
telah kelar saya garap belum dibayar, sekarang tak sepeserpun uang
ditangan, hari sabtu dan minggu katanya kantor tutup semua karyawan
bersama partner event diliburkan, kemarin mereka ke wisata kota batu
saya tak diajak, jengkel rasanya namun hujan yang deras menghiburku
hari kemarin lebih aman dalam kamar membuka halaman demi halaman,
sembari menuyulut sebatang dua batang rokok, hikmah yang kuresapi
bahwa penyair adalah untaian kata – kata indah yang menginspirasi,
penyair akan membakar semangat namun bagai lilin yang meleleh,
penyair tak mendapatkan apa – apa kecuali orang – orang yang
terinspirasi, penyair akan disebut namanya setelah mati dan klaim
dari komonitas penyair terhadap buah karya – karyanya untuk mereka
mendapatkan hasil dari kariyanya.
Masih terasa bosan membuat wajah –
wajah tak berair lagi seperti saat berada dialun – alun melewati
sore bercerita tentang pelanggaran kemanusian disudut pojok sore itu
bersama saudara lamuis asal nabire yang sengaja mengunjungiku
dimalang setelah mengahantar orang tua saudaranya dibandara Surabaya,
menurut kawan muis malang lebih dingin daripada jogja sumpek panas
asap, pantesan perempuan disini manis kulitnya juga halus – halus
tak berminyak karena selalu lindung dibawah pepohonan yang rindang
katanya sore itu, pohon – pohon juga daun hijau lebat terawat, tapi
dipojok sana ada seorang ibu berjilbab penjual kopi dan rokok yang
melanggar aturan demi menyambung hidupnya, “cari apa mas?”
sapanya saat muis mendekatinya, ada kopi hitam bu Tanya muis, ia mas”
sahutnya, ko’ nggak jual didalam alun – alun mas Tanya muis?”
tidak boleh mas” jawabnya, kenapa bu?’ Tanya muis ada larangan
mas dari pemerintah” bakar aja bu’ ia mas kita bakar aja’
cloteh seorang bapak yang duduk belakang muis diatas becak yang
terparkir disamping jalan, ia pak bakar aja kalau alun – alun nggak
boleh jualan warga kecil” hahahahaha tawanya lebar, beberapa saat
kemudian ibu itu “ini mas kopinya” enam ribu dua gelas’ katanya
sambil menyerahkan dua gelas plastic kopi kemuis yang sejak tadi
berdiri menunggu seduhan kopinya, ni bu makasih ya’ balas muis,
kamipun menyebrangi jalan, sore itu kami menikmati segelas kopi
diatas rumput hijau alun – alun yang hijau kurang rimbun itu,
sembari meratapi kisah rakyat yang diberitakan mengalami peningkatan
ekonomi, namun kami melihat ada yang termarjinalkan disamping alun –
alun malang.
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar