Tiwu Puang |
Tidak berlebihan jika saya mengungkapkan dalam kalimat tulisan bahwa
siru inung wae tebur tedeng len. bukan mengolok atau menghina sebab saya yang
menulis bagian dari dro’eng siru turut merasakan tidak mungkin dong saya menghina
diri saya sendiri, namun saya merasa terhina karena dihina oleh mereka yang
disana duduk dipemangku kepentingan dro’eng siru, tapi inilah kenyataan manusia
siru sebenar – benarnya yang saya alami bersama manusia lain dikampung kami
desa siru watu lendo, saat menuliskan kenyataan kami disiru saya tak mampu
menahan mata yang perlahan – lahan meneteskan air mata duka disini, tulang –
tulang manusia duka air disini setiap malam dan keesokan paginya sebelum
kesawah atau kekebun harus diolesi oleh minyak urut, lantas kaki tergelinicir
kemudian menabrak batu kecil atau besar yang tajam, tangan pegal – pegal,
kepala rasa migran pusing itu semua dirasakan disini setiap pagi dan sore, mau
bagaimana lagi kenyataan sebagai manusia kecil berdaya harus menerima walaupun
bukan takdir ataupun nasib yang ditetapkan sang pencipta untuk manusia disini,
tapi tuan – tuan disana duduk menetapkan nasib manusia disini dengan
kesombongan, keserakahan tak tertahan, tak bisa disangkal memutuskan anugerah
illahi untuk manusia disini dengan sewenang – wenang diatas mandat yang
dianugerah dari tuhan mereka juga untuk manusia tuhan disini yang bukan tuan – tuan negara diyatim
piatukan, dimarjinalkan padahal manusia siru juga wua tuka nuchalale kuni agu
kalo namun mereka disembunyikan keadaan dan eksistensi oleh tuan – tuan
pemangku kepentingan saat orang nomor satu diindonesia berkunjung ke nuchalale
begitu sentimenkah kepada wua tuka de empo agu tae tanah lahat, cerita tentang
wuatuka siru tidak bisa kita sembunyikan diabdi negoro ini, manusia disini
percaya tuhan melihat dengan respon sikapnya yang segera memutuskan keputusan
sesuai wajar pantas untuk hamba manusia yang setiap saat memperlakukan diri
layak umatnya, “dro’eng siru minun air keruh
selamanya” ia dro’eng siru minum dari sungai yang mengalir dari hilir ke hulu,
sudah menjadi pemandangan hari – hari biasa dilihat beramai - ramai dan sangat
diketahuai oleh dro’eng yang bermukiman deretan depan sungai bahwa setiap pagi
dan petang manusia siru tidak mudah jika ingin mandi, masak, dan minum harus
turun tebing jurang amat curam dikedua tangan membopong masing – masing satu
jerigen kosong ukuran 20 liter dan pakain kotor dalam bak cuci dikepala bagi
yang dewasa dan anak – anak usia sekolah dasar juga tak ketinggalan ikut turun tebing
jurang melatih diri sedini mungkin membantu keluarga dengan dua jerigen ukuran
5 liter di kedua tangannya, perginya tak terlalu berat namun sepulang dari
sungai harus mendaki dengan beban berat dikedua tangan, dikepala, sepanjang
pendakian menahan pegal dan rasa lelah dengan nafas memburuh tersengal – sengal
yang berhembus cepat dan terpaksa dari mulut dan kedua lubang hidung mereka
harus mengayuh alunan langkah sambil menahan beban berat sekuat tumpuan tangan
kelapa agar tidak jatuh yang kalau tidak hati – hati tidak hanya bawaan namun
bisa saja manusia – manusia duka air ini jatuh dan terguling kebawah tebing
bebatuan yang tajam kadang – kadang saat saya menyaksikan sembari berfikir
merenung manusia disini super kuat jagonya mendaki tapi juga lucu mengundang
senyum - senyum menertawai kami tat kala melihat tubuh terlihat tulang – tulang
yang menonjol. dengan mata kepala manusia dari wae nengke hingga muara dipalis
mereka menyaksikan itu disiru. Dari wae kanta sampai perbatasan desa wae wako
hari – hari binatang seperti anjing, kerbau, babi hutan, dan jenis binatang
lainnya yang dihilir hingga sepanjang peraliran sungai mengaliri kotoran yang
telah dikeluarkan binatang – binatang tersebut, tidak hanya binatang namun
manusia juga sering datang kesungai atau yang lewat tak menyia – nyiakan
kesempatan buang kotoran mereka disungai, limbah rumah seperti deterjen cucian,
dan peptisida seperti obat semprot racun hama wereng, pupuk non organik
beracun, dan zat lain yang membahayakan jika dikonsumsi manusia mengalir dari
sawah juga turut mengalir dihilir hingga aliran sepanjang sungai yang biasa
digunakan manusia siru untuk mandi, cuci, memasak, dan minum, bagi masyarakat
siru sangat bersyukur jika musim hujan saat awal hujan manusia – manusia siru
berkesempatan bagi mereka masing – masing setiap rumah sibuk membuat penadah
aliran hujan darurat dari seng rumah mereka bagi mereka yang kebanyakan tidak
punya pipa yang terpasang diujung seng rumahnya untuk menampung air hujan yang
jatuh dari seng rumah semampu yang mereka tadah, kalau hujan tiga sampai empat
sehari maka mereka tidak perlu lagi turun tebing untuk menimba air keperluan
memasak, minum, mencuci dan mandi karena persedian air yang mereka tampung
cukup untuk tiga hari kemudian jika tidak ada tamu, namun situasi terakhir
pemanasan global sehingga cuaca hujan tidak tentu kadang sebulan hanya turun
dua sampai tiga kali kadang juga sebulan tidak turun hujan hingga diakhir
beranjak kebulan berikutnya membuat dro’eng siru kesulitan mendapatkan air
terpaksa mereka harus turun tebing untuk memenuhi kebutuhan air walaupun keruh
karena dihulu hujan sebentar yang memicu tergerusnya sampah dan debu tanah
setelah dihantam hujan deras sebentar mengalir kesepanjang sungai yang
digunakan manusia disini, sangat sedih saat hujan sebentar yang tak bisa
ditampung untuk keperluan, disini tanah becek dan licin akibat debu tebal lama
tak disirami air sehingga saat turun tebing harus super hati – hati agar tidak
tergelincir licinnya debu tebal sebelumnya yang telah menjadi tanah becek.
Lengkong Kawu |
Keadaan sulit air, jalan bebatuan desa, listrik tak masuk desa dialami
sudah lama sebelumnya karena dro’eng siru masih bermukiman pisah di lima bangka
yaitu bangka bara, bangka mboleng, bangka beo siru, bangka lita, dan bangka
kolong. dan ketika terjadi kebakaran besar menghanguskan serta melenyapkan
perkampungan bangka bara maka warga bangka bara berbondong - bondong pindah
rumah ke watu lendo atau sekarang disebut desa siru tidak heran jika kepala
desa pertama desa siru dulu adalah kepala tu’a bara masa jabatan kepala tu’a
bara belum menjadi desa siru masih kelurahan tangge dibawah pimpinan kepala tua
atau yang dikenal dikampung tae bara, karena watu lendo sangat mudah akses ke
kota kecamatan dan areal persawahan juga dilendo maka saat itu kelima bangka
lainnya mengikuti jejak dro’eng bangka bara membangun rumah sederhana dan
menempati pemukiman disekitar areal persawahan lembor dan bangka yang lama
dijadikan rumah singgah saat menggarap kebun yang ditinggalkan, sejak tahun
1980 hingga 1995 zaman soeharto sedikit kebahagian yang dirasakan air PAM/PDAM
mengalir dari pipa – pipa besi yang terpasang sambung kepemukiman kampung kolot
hening warga bersamaan waktu itu suntikan dana dari peterwaser bangunan rumah
dan perbaikan pipa PAM/PDAM yang rusak, tahun 1998 kembali seperti semula
krisis air, jalan batu – batu yang berlobang digenangi air hujan sebulan yang
lalu tepat ditengah badan jalan tak layak lewat kendaraan, listrik yang tak
terakses hingga tahun 2009 listrik baru permulaan tarik kabel dan pasang tiang
dari PLN untuk desa siru akhir tahun 2009 meteran PLN terpasang disebagian
kecil rumah warga menikmati terangnya malam dari PLN walaupun banyak masalah
yang timbul saat pemasangan mengenai penipuan pembayaran meteran oleh pelaku –
pelaku tuang desa yang kong kalikong jahat dengan tuang PLN campur tuang negara
padahal waktu itu alokasi dana APBN untuk listrik NTT senilai 1.6 Triliun dan
gratis dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik semua lapisan warga NTT
yang tentunya pemberlakuan gratis harusnya berlaku untuk dro’eng siru tidak
harus utang untuk mendapatkan meteran listrik karena memang dana 1.6T itu
sengaja dialokasikan listrik gratis untuk dro’eng NTT, diakhir tahun 2009 juga
jalan aspal asal aspal kuat tahan lama tidak perlu dikerjakan setengah
sepanjang desa siru dari jalur utama transflores setelah tahun 2009 Bapak
Syakar Abdul Jangku terpilih sebagai DPR Fraksi PKS utusan DAPIL 3 melanjutkan
pengerjaan hanya satu jalur jalan “aspal asal aspal” yang belum rampung diawal
duduk dikursi DPR dari pertigaan masjid hingga pertigaan lengkong kawu/cunga
saung, dan saat akhir jabatannya memasuki 2014 kembali pertarungan PILEG priode
berikutnya mungkin bermaksud menaruh simpati dihati dro’eng waewako dan siru
kembali melanjutkan pengerjaan jalan “aspal asal terlihat aspal dan tiga
hari kemudian setelah dilewati mobil angkutan terkelupas menempel diban
angkutan kendaraan umum desa” hingga ke desa wae wako walaupun tidak
rampung hingga perbatasan namun sayang dewifortuna tidak berpihak padanya,
karena suara rakyat yang berpihak padanya tidak cukup memenangkannya untuk kembali duduk di kursi
DPR pada priode berikut dengan kendaraan partai PKS, mereka berseteru pada
PILEK 2014 bersaing suara dalam satu keluarga ada Pak Sumardi sebagai orang nomor satu diPKS manggarai
barat selaku DPD yang ego melihat glagat pak Syakar A.Jangku tidak berpihak
pada kepentingan partai ataupun tidak sesuai dengan maksud niat dari dro’eng
mengusungnya yang difahami kontras oleh dro’eng siru akumulasi tutur lisan dan
gesturnya kemudian karena berbagai macam polemik pro dan kontra pembacaan
berasal dari dukungan fihak yang mendorong dirinya untuk maju bertarung yang
berujung pada keputusan dirinya maju bertarung walaupun harus bertarung dengan
kandidat lainnya yang bersasal dari siru termasuk Pak syakar A.Jangku
penyelesaian pelaksanaan pembacaan kekuatan demi kemaslahatan umat yang
acapkali digembar – gemborkan sebelumnya dalam diskusi tujuan kuasa kini
menjadi persoalan nomor dua yang dikacau balaukan oleh mimpi menguasai setelah
berkuasa dalam angan – angan semu ekspansif kerangka kekuatan menang menjadi
diskusi yang sangat menarik sesaat sekedar menghabiskan anggaran politis
aktualisasi diri menjadi sekat yang sengaja diciptakan agar elit bersama elit
dan orang disekitar bersama dro’eng hanya menjadi penonton sandiwara lakon
drama ego kesombongan pribadi sembari tak terlihat langsung tak terdengar
langsung dibelakang saling mencaci maki pendukung lawan dengan gaya elit
intelektuil agama, politik, hukum, dan segudang kajian peta kekuatan isinya
caci maka lawan dan pendukungnya yang terpenting saat itu pelaksanaan
egosentrisme utama walaupun setiap hari berbicara nama umat dalam kesan pribadi
yang bertuhan memandang yang lain buruk dari aspek kecil yang tak berarti
dikehidupan nyata ataupun konsep tuhan kepada manusianya atau bahkan konsep
syariat hubungan manusia dengan manusia tidak dapat dipraktekkan dalam lapisan
paling bawa dan menggalakkan propaganda yang sengaja dibuat kesan relegius demi
kemenangan pribadi yaitu kesejahteraan umat, kemaslatan umat, keberlangsungan
hidup harmonis umat kini sirna dalam sesaat, dan kedua calon yang dijagokan
dalam lingkaran keluarga Pak Tan Akbar dan Malik Taking keluarga mengusung dua
orang ini dengan gagah berani tak terbendung semakin membingungkan dro’eng siru
yang lugu tak mengerti apa maksud dan tujuan mereka harus memilih siapa, andai
saja suara seorang bisa diberikan kepada empat orang mungkin perasaan peduli
sebagai keluarga selesai, ini dro’eng juga keluarga kalian telah membuat mereka
saling mencerca satu sama lain atau tombo manggarai na “sawung” dengan penuh
rasa tega demi melaksanakan diskusi peduli dan tugas moral sebagai orang
terdidik gaya barbarian ala intelektuil moral politis amatir hadir membabi buta
dengan membutakan mata hati menciptakan kebencian ditengah mereka yang kalian
katakan diantara orang – orang yang kalian datangi “peduli pada dro’eng siru”
kemudia bilang “Ite adalah ca dara ca nunduk” tapi menciptakan sebentuk
permusuhan dan kebencian diantara “ITE” dengan secara sadar dan sengaja
pengetahuan menjadi mesin konflik untuk orang – orang yang tidak faham didesa.
hingga sampai sekarang masalah krisis kesulitan air hanya menjadi diskusi –
diskusi dibawah pohon, didalam rumah saat nonton televisi, menjadi keresahan
didepan rumah ketika pulang dari sawah badan dalam keadaan kotor gatal dan bau
baju sisah ampas padi mesin rontok disaat panen padi, menjadi diskusi menarik
saat seorang DPR singgah dirumah guru setelah ia berlalu pergi dari rumah
seorang ibu didapur mengeluh air cuci gelas bekas minumannya dengan teriakan
mengganggu keasyikan suaminya sedang menonton berita debat politik,
kemudian akhirnya pembicaraan malam itu
cletup dari seorang yang duduk dipojok dekat pintu tengah “percuma presa ome toe pande
lemi, au jaong gemi hemi go calon tuang au tuang pande dama ome tuang tu’u hemi
tu” dengan hati yang geli menahan tertawa, karena tak tahan untuk
tertawa biar dikira tidak menghina dan tidak melukai hati mereka yang sedang
duduk diskusi serius tiada akhir saya berlalu melangkah enyah dari kebiasaan
orang banyak sembari menertawai lelucon banyak kulewati ditengah - tengah
mereka yang anggap serius materi yang kurang dibutuhkan oleh dro’eng.
Hahahaha....
ini hanya sebuah tulisan, bukan apa – apa hanya tulisan dalam kata – kata yang
kami anggap lelucon, kalau tidak mau ditindak lanjuti ya tidak apa – apa wong
hanya kata – kata lelucon yang dianggap serius oleh sebagian pembaca tentang
keadaan dro’eng ko’e hahahaha, kalau ditindak lanjuti ya bersyukur berarti akal
fikiran, hati, beserta jiwa dan raga pemangku kepentingan dro’eng masih
berfungsi dengan baik kalau tidak ya saya tidak bilang sehat. Itu saja terima
kasih.
Catatan Antara Bandung - Malang
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar