بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Tetapi kutipan alkitab dimaksud kira – kira berbunyi begini: “Manusia hanya melihat rupa, tetapi Tuhan
melihat hati”. Mungkin itu berarti: ukuran
yang dipakai manusia tidak sama dengan ukuran yang dipakai Tuhan dalam menilai
seseorang.
Kalau dalam judul di atas dipakai kata
mengadili berarti ada hubungannya dengan dunia peradilan, pengadilan, penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat dan sebagainya).
Keadilan Prosedural
Judul di
atas hendak mengungkapkan bahwa dalam berperkara di pengadilan, semua aparat
penegak hukum yang terlibat di dalamnya lebih melihat aspek keadilan yang
sifatnya sangat prosedural (Procedural Justice) dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan sebuah sengketa.
Apa kata
pasal – pasal yang ada dalam UU, itu saja yang diterapkan. Hakim pun terikat
untuk percaya pada bukti – bukti surat maupun keterangan saksi – saksi.
Walaupun mungkin saja bukti – bukti surat itu palsu atau dipalsukan. Begitu
juga saksi – saksi, bisa saja keterangan mereka di persidangan penuh kebohongan
dan tipu muslihat. Ya, selagi lawan tidak bisa membuktikan sebaliknya, surat
dan keterangan saksi – saksi itu dianggap benar.
Para
penegak hukum biasanya dikritik oleh masyarakat bahwa mereka itu bagai makhluk
malas. Sebab mereka tidak cukup rajin untuk menggali keadilan yang substantif.
Menghadapi kritikan seperti itu, biasanya mereka dengan mudah mereka berdalil
atau bersembunyi di balik sebuah adagium universal: “Cogitationis Poenam Nemo Patitut” - tidak seorang pun dapat dihukum
karena apa yang dipikirkan atau apa yang ada di batinnya (Sudikno Mertokusumo, 2010:16).
Suara Hati Seribu Saksi
Tetapi
kalau orang hendak mencari keadilan yang substantif (substantive justice) maka
para penegak hukum harus menggali motif tindakan dari orang yang diduga
melakukan pelanggaran hukum. Bicara motif, selalu berkaitan dengan hati dan
pikiran seseorang. Itu berarti hati dan pikiran seseorang turut “diadili” dalam
persidangan.
Memang
hanya Tuhan yang bisa mengetahui isi hati dan pikiran seseorang dengan
sempurna. Itu sebabnya, Al – kitab mengatakan:
Tuhan melihat hati. Maka hanya Tuhan yang
bisa mengadili hati dan pikiran seseorang dengan sempurna pula.
Aparat
penegak hukum, dengan kemampuan yang terbatas, dengan segala kelemahan
manusiawinya hanya bisa menilai motif dan korelasi dari serangkaian tindakan
dengan akibat yang timbul dari tindakan – tindakan dimaksud.
Penegak
hukum bisa menilai apakah tindakan – tindakan itu dilakukan dengan sengaja,
atau sebuah kebetulan. Apakah pelanggaran hukum itu dilakukan dengan
perencanaan yang matang atau hanya sebuah tindakan yang sifatnya insidental.
Mungkin saja karena kemampuan yang
terbatas, penegak hukum tidak sepenuhnya dapat “Mengadili” hati dan pikiran
seseorang.
Tetapi
sebaliknya, kalau penegak hukum dengan
kecerdasan intelektual yang mereka miliki, mampu menggali dan mengadili hati
dan pikiran seseorang, maka di situlah keadilan substantif dapat didapatkan
oleh para pencari keadilan.
Penggalian isi hati dan pikiran
seseorang mempunyai nilai pembuktian yang tinggi. Benar kata kaum bijak dari
Romawi dulu: “Conscientia Est Sicut Mille
Testes” - suara hati adalah seribu saksi” (Th.L. Verhoeven, P. Philipus
Juang, 2010:9).
Kita
berharap, dalam menyidangkan sebuah perkara, para penegak hukum tidak boleh hanya jadi penegak hukum yang malas,
yang mau cari gampang, dengan hanya menerapkan pasal-pasal yang ada.
Sebab penegak hukum (In Casu Hakim) adalah makhluk yang berjiwa, punya integritas, dan corong kebenaran demi tercapainya cita –
cita “keadilan bagi semua” (Iustitia Omnibus). Lagi pula, kalau tak ada
keadilan sejati, maka senyatanya hukum itu tidak ada - “Ubi Ergo Iustitia Vera Non Est, Nec Ius Potest Esse”, demikian ‘sabda suci” Santo Agustinus.
Kraeng Edi Danggur
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar