السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Kita tak bisa memastikan kapan akan Mati - Yang pasti bahwa semua akan Mati "Orang paling pandai orang yang paling ingat akan masalah kematian (Sabda Rasulullah saw.)"

Manusia Mengadili Rupa Tuhan Mengadili Hati

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
 
Judul tulisan kecil ini terinspirasi oleh sebuah kutipan dalam kitab suci. Lupa nama kitabnya, apalagi bab dan ayatnya. Sebab memang penulis juga kurang rajin baca kitab suci.

Tetapi kutipan alkitab dimaksud kira – kira berbunyi begini: “Manusia hanya melihat rupa, tetapi Tuhan melihat hati”. Mungkin itu berarti: ukuran yang dipakai manusia tidak sama dengan ukuran yang dipakai Tuhan dalam menilai seseorang.

Kalau dalam judul di atas dipakai kata mengadili berarti ada hubungannya dengan dunia peradilan, pengadilan, penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat dan sebagainya).

Keadilan Prosedural

Judul di atas hendak mengungkapkan bahwa dalam berperkara di pengadilan, semua aparat penegak hukum yang terlibat di dalamnya lebih melihat aspek keadilan yang sifatnya sangat prosedural (Procedural Justice) dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sebuah sengketa.

Apa kata pasal – pasal yang ada dalam UU, itu saja yang diterapkan. Hakim pun terikat untuk percaya pada bukti – bukti surat maupun keterangan saksi – saksi. Walaupun mungkin saja bukti – bukti surat itu palsu atau dipalsukan. Begitu juga saksi – saksi, bisa saja keterangan mereka di persidangan penuh kebohongan dan tipu muslihat. Ya, selagi lawan tidak bisa membuktikan sebaliknya, surat dan keterangan saksi – saksi itu dianggap benar.

Para penegak hukum biasanya dikritik oleh masyarakat bahwa mereka itu bagai makhluk malas. Sebab mereka tidak cukup rajin untuk menggali keadilan yang substantif. Menghadapi kritikan seperti itu, biasanya mereka dengan mudah mereka berdalil atau bersembunyi di balik sebuah adagium universal: “Cogitationis Poenam Nemo Patitut” - tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau apa yang ada di batinnya (Sudikno Mertokusumo, 2010:16).

Suara Hati Seribu Saksi

Tetapi kalau orang hendak mencari keadilan yang substantif (substantive justice) maka para penegak hukum harus menggali motif tindakan dari orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Bicara motif, selalu berkaitan dengan hati dan pikiran seseorang. Itu berarti hati dan pikiran seseorang turut “diadili” dalam persidangan.

Memang hanya Tuhan yang bisa mengetahui isi hati dan pikiran seseorang dengan sempurna. Itu sebabnya, Al – kitab mengatakan: Tuhan melihat hati. Maka hanya Tuhan yang bisa mengadili hati dan pikiran seseorang dengan sempurna pula.

Aparat penegak hukum, dengan kemampuan yang terbatas, dengan segala kelemahan manusiawinya hanya bisa menilai motif dan korelasi dari serangkaian tindakan dengan akibat yang timbul dari tindakan – tindakan dimaksud.

Penegak hukum bisa menilai apakah tindakan – tindakan itu dilakukan dengan sengaja, atau sebuah kebetulan. Apakah pelanggaran hukum itu dilakukan dengan perencanaan yang matang atau hanya sebuah tindakan yang sifatnya insidental. Mungkin saja karena kemampuan yang terbatas, penegak hukum tidak sepenuhnya dapat “Mengadili” hati dan pikiran seseorang.

Tetapi sebaliknya, kalau penegak hukum dengan kecerdasan intelektual yang mereka miliki, mampu menggali dan mengadili hati dan pikiran seseorang, maka di situlah keadilan substantif dapat didapatkan oleh para pencari keadilan.

Penggalian isi hati dan pikiran seseorang mempunyai nilai pembuktian yang tinggi. Benar kata kaum bijak dari Romawi dulu: “Conscientia Est Sicut Mille Testes” - suara hati adalah seribu saksi” (Th.L. Verhoeven, P. Philipus Juang, 2010:9).

Kita berharap, dalam menyidangkan sebuah perkara, para penegak hukum tidak boleh hanya jadi penegak hukum yang malas, yang mau cari gampang, dengan hanya menerapkan pasal-pasal yang ada.

Sebab penegak hukum (In Casu Hakim) adalah makhluk yang berjiwa, punya integritas, dan corong kebenaran demi tercapainya cita – cita “keadilan bagi semua” (Iustitia Omnibus). Lagi pula, kalau tak ada keadilan sejati, maka senyatanya hukum itu tidak ada - “Ubi Ergo Iustitia Vera Non Est, Nec Ius Potest Esse”, demikian ‘sabda suci” Santo Agustinus.
Kraeng Edi Danggur

Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono

Tidak ada komentar:

Baca juga topik dibawah ini:
Lihat kamus di Beranda!
DAFTAR EMAIL KAMU UNTUK BERLANGGANAN UPDATE Ujung Pena NS