Berani
berpikir sendiri atau berani mencaritahu sendiri adalah terjemahan harafiah
dari istilah Latin “sapere aude”, sebuah semboyan yang pertama kali dilontarkan
oleh Horatius, filsuf Romawi Kuno. Lewat ungkapan ini, ia mengajak semua orang
agar tidak mudah tunduk, atau takut atau larut begitu saja dalam kemauan dari
mereka yang memegang kendali kekuasaan atau kendali opini umum.
Tetapi sebaliknya, Horatius
menantang setiap orang untuk tunduk dan hanya taat pada keyakinannya sendiri.
Setiap orang dia persepsikan mempunyai kemampuan akal budi untuk berpikir
mandiri, dan bisa memilih mana persepsi dan cara bertindak yang tepat.
Tidak selamanya persepsi atau opini
publik lebih baik dan lebih benar daripada persepsi individual. Tiap orang
tidak boleh terombang-ambing dalam arus opini publik, tanpa kejelasan kemana
arah dan tujuan opini publik tersebut.
Belajar Dari Sejarah
Mengapa
ajakan untuk “berani berpikir sendiri” ini tetap dikampanyekan terus-menerus
sampai dengan saat ini? Dalam sejarah dunia, Hannah Arendt pernah membuat
reportase yang sungguh mengagumkan tentang peristiwa Auschwitz, Jerman, tahun
1994.
Arendt mencatat sekitar 6 juta warga
Yahudi Eropa, termasuk 1,5 juta anak-anak mati dengan cara yang mengerikan.
Sebelum mereka mati, terlebih dahulu mereka disiksa dengan sangat kejam di luar
batas-batas perikemanusiaan.
Eksekutor paling bengis yang
bertanggung jawab langsung atas kematian 6 juta warga Yahudi Eropa itu adalah
Rudolf Hoss dan Adolf Eichmann. Hoss adalah pemimpin kamp konsentrasi
Auschwitz, sedangkan Eichmann adalah pemusnah utama bangsa Yahudi.
Menurut refleksi kritis Arendt,
kedua orang ini tidak pernah dididik secara khusus untuk menjadi manusia jahat
dan bengis. Keduanya juga berasal dari keluarga baik-baik, berlatarbelakang
pendidikan bagus. Mereka itu orang biasa, normal, yang menjalani kehidupan
harian secara rutin sebagai birokrat umumnya.
Masih menurut Arendt, penyebabnya
adalah kedua orang ini tidak berani berpikir sendiri, tidak berani mencaritahu
sendiri, tidak mau belajar sendiri. Keduanya hanya menghamba dan begitu taat
dan hanya mengikuti apa-apa saja yang diperintahkan oleh atasan mereka, alias
ketaatan secara membabi buta.
Akibatnya, keduanya tidak mau
bersusah payah untuk mengasah kemampuan mereka bahwa tujuan kita hidup adalah
mencintai kehidupan itu sendiri (“amor vitae”) dan mencintai dunia (“amor
mundi”). Kalau saja keduanya sadar akan tujuan hidup mereka, maka tentu mereka
ikut merawat dunia dengan melakukan hanya hal-hal yang baik, benar dan mulia.
Semboyan Yang Tetap Kontekstual
Pada
saat ini, semboyan “sapere aude” ini tetap kontekstual, karena saat ini masih
berkembang
ideologi-ideologi totaliter, baik di bidang sekuler maupun bidang
religius. Para pemegang kekuasaan, entah kekuasaan di ranah publik, swasta
bahkan kekuasaan di bidang keagamaan dianggap sebagai orang-orang benar dan
tanpa cacat cela. Sehingga apapun yang mereka perintahkan selalu dianggap
sebagai sesuatu yang benar, tanpa dianalisis apakah itu baik, benar,
mencerahkan, membawa orang kepada kebaikan atau tidak.
Tanpa keberanian berpikir sendiri,
orang bisa saja tetap memuja pejabat-pejabat mulai dari tingkat pusat sampai ke
daerah sebagai “malaekat suci murni dari surga” sekalipun sebenarnya
kekuasaannya penuh bau amis korupsi. Masyarakat dibuai dalam syair-syair pidato
kecap atau go’et-go’et yang menawan hati, walaupun sebenarnya kata-kata indah
bagai menusuk rakyatnya sendiri dari belakang.
Begitu pula di bidang keagamaan,
dengan mudah umat digiring dengan pidato-pidato atau kotbah-kotbah yang
provokatif yang menggiring umat untuk bertindak anarkis bahkan menghancurkan
kehidupan itu sendiri. Misalnya, tragedi bom bunuh diri, yang tidak hanya
mematikan dirinya sendiri tetapi juga orang-orang tidak berdosa di sekitarnya.
Perlu Pencerahan!
Pencerahan
hanya mungkin terjadi jika dalam berpikir dan bertindak, semua orang
menggunakan ratio, bukan demi ketaatan tanpa dikaji secara ratio. Sebuah
tindakan yang didasarkan pada ratio, tidak hanya membebaskan, membahagiakan,
tetapi pasti juga membawa kesejahteraan bagi bannyak orang.
Sebaliknya, tindakan tanpa
menggunakan rasio, hanya sekedar menunjukkan ketaatan pada atasan, atau sekedar
mengekor pada pendapat segerombolan orang tertentu dalam masyarakat, justru
menggelisahkan dan membelenggu dan bahkan menghancurkan peradaban itu sendiri.
Berani berpikir sendiri harus bersandar
pada suatu keyakinan bahwa ratio merupakan kemampuan manusia yang sentral.
Kemampuan berpikir sendiri itu baru terwujud jika ada keberanian. Keberanian
untuk berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan omongan dan pendapat
semua orang (contra famam opinionemque omnium).
Keberanian seperti apa? Nabi besar
Yesaya pernah dengan berani mengatakan kepada Tuhan: “Inilah aku, utuslah aku!”
Begitu juga Santo Paulus berani mengajar dan mengimani. Atau keberanian seperti
yang ditunjukkan Simon Petrus dalam Injil Lukas: keberanian untuk bertolak ke
tempat yang dalam dan menebarkan jala untuk menangkap ikan. “Duc in Altum”!
Renungan Minggu Biasa ke-5: Minggu 7
Februari 2016.
Sumber bacaan:
1. Pius Pandor, CP, Ex Latina
Claritas, Jakarta: Obor, 2010, h. 10.
2. Bacaan-bacaan hari Minggu Biasa
ke-5:
Injil Al - Kitab
-Yes 6:1-2a.3-8;
- 1Kor.15:8-11; dan
- Luk. 5:1-11.
Kraeng Edi Danggur
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar