السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ Kita tak bisa memastikan kapan akan Mati - Yang pasti bahwa semua akan Mati "Orang paling pandai orang yang paling ingat akan masalah kematian (Sabda Rasulullah saw.)"

Berani Berpikir Sendiri!

Berani berpikir sendiri atau berani mencaritahu sendiri adalah terjemahan harafiah dari istilah Latin “sapere aude”, sebuah semboyan yang pertama kali dilontarkan oleh Horatius, filsuf Romawi Kuno. Lewat ungkapan ini, ia mengajak semua orang agar tidak mudah tunduk, atau takut atau larut begitu saja dalam kemauan dari mereka yang memegang kendali kekuasaan atau kendali opini umum.

Tetapi sebaliknya, Horatius menantang setiap orang untuk tunduk dan hanya taat pada keyakinannya sendiri. Setiap orang dia persepsikan mempunyai kemampuan akal budi untuk berpikir mandiri, dan bisa memilih mana persepsi dan cara bertindak yang tepat.
Tidak selamanya persepsi atau opini publik lebih baik dan lebih benar daripada persepsi individual. Tiap orang tidak boleh terombang-ambing dalam arus opini publik, tanpa kejelasan kemana arah dan tujuan opini publik tersebut.

Belajar Dari Sejarah

Mengapa ajakan untuk “berani berpikir sendiri” ini tetap dikampanyekan terus-menerus sampai dengan saat ini? Dalam sejarah dunia, Hannah Arendt pernah membuat reportase yang sungguh mengagumkan tentang peristiwa Auschwitz, Jerman, tahun 1994.
Arendt mencatat sekitar 6 juta warga Yahudi Eropa, termasuk 1,5 juta anak-anak mati dengan cara yang mengerikan. Sebelum mereka mati, terlebih dahulu mereka disiksa dengan sangat kejam di luar batas-batas perikemanusiaan.

Eksekutor paling bengis yang bertanggung jawab langsung atas kematian 6 juta warga Yahudi Eropa itu adalah Rudolf Hoss dan Adolf Eichmann. Hoss adalah pemimpin kamp konsentrasi Auschwitz, sedangkan Eichmann adalah pemusnah utama bangsa Yahudi.

Menurut refleksi kritis Arendt, kedua orang ini tidak pernah dididik secara khusus untuk menjadi manusia jahat dan bengis. Keduanya juga berasal dari keluarga baik-baik, berlatarbelakang pendidikan bagus. Mereka itu orang biasa, normal, yang menjalani kehidupan harian secara rutin sebagai birokrat umumnya.

Masih menurut Arendt, penyebabnya adalah kedua orang ini tidak berani berpikir sendiri, tidak berani mencaritahu sendiri, tidak mau belajar sendiri. Keduanya hanya menghamba dan begitu taat dan hanya mengikuti apa-apa saja yang diperintahkan oleh atasan mereka, alias ketaatan secara membabi buta.

Akibatnya, keduanya tidak mau bersusah payah untuk mengasah kemampuan mereka bahwa tujuan kita hidup adalah mencintai kehidupan itu sendiri (“amor vitae”) dan mencintai dunia (“amor mundi”). Kalau saja keduanya sadar akan tujuan hidup mereka, maka tentu mereka ikut merawat dunia dengan melakukan hanya hal-hal yang baik, benar dan mulia.

Semboyan Yang Tetap Kontekstual

Pada saat ini, semboyan “sapere aude” ini tetap kontekstual, karena saat ini masih berkembang
ideologi-ideologi totaliter, baik di bidang sekuler maupun bidang religius. Para pemegang kekuasaan, entah kekuasaan di ranah publik, swasta bahkan kekuasaan di bidang keagamaan dianggap sebagai orang-orang benar dan tanpa cacat cela. Sehingga apapun yang mereka perintahkan selalu dianggap sebagai sesuatu yang benar, tanpa dianalisis apakah itu baik, benar, mencerahkan, membawa orang kepada kebaikan atau tidak.

Tanpa keberanian berpikir sendiri, orang bisa saja tetap memuja pejabat-pejabat mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah sebagai “malaekat suci murni dari surga” sekalipun sebenarnya kekuasaannya penuh bau amis korupsi. Masyarakat dibuai dalam syair-syair pidato kecap atau go’et-go’et yang menawan hati, walaupun sebenarnya kata-kata indah bagai menusuk rakyatnya sendiri dari belakang.

Begitu pula di bidang keagamaan, dengan mudah umat digiring dengan pidato-pidato atau kotbah-kotbah yang provokatif yang menggiring umat untuk bertindak anarkis bahkan menghancurkan kehidupan itu sendiri. Misalnya, tragedi bom bunuh diri, yang tidak hanya mematikan dirinya sendiri tetapi juga orang-orang tidak berdosa di sekitarnya.

Perlu Pencerahan!

Pencerahan hanya mungkin terjadi jika dalam berpikir dan bertindak, semua orang menggunakan ratio, bukan demi ketaatan tanpa dikaji secara ratio. Sebuah tindakan yang didasarkan pada ratio, tidak hanya membebaskan, membahagiakan, tetapi pasti juga membawa kesejahteraan bagi bannyak orang.

Sebaliknya, tindakan tanpa menggunakan rasio, hanya sekedar menunjukkan ketaatan pada atasan, atau sekedar mengekor pada pendapat segerombolan orang tertentu dalam masyarakat, justru menggelisahkan dan membelenggu dan bahkan menghancurkan peradaban itu sendiri.
Berani berpikir sendiri harus bersandar pada suatu keyakinan bahwa ratio merupakan kemampuan manusia yang sentral. Kemampuan berpikir sendiri itu baru terwujud jika ada keberanian. Keberanian untuk berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan omongan dan pendapat semua orang (contra famam opinionemque omnium).

Keberanian seperti apa? Nabi besar Yesaya pernah dengan berani mengatakan kepada Tuhan: “Inilah aku, utuslah aku!” Begitu juga Santo Paulus berani mengajar dan mengimani. Atau keberanian seperti yang ditunjukkan Simon Petrus dalam Injil Lukas: keberanian untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jala untuk menangkap ikan. “Duc in Altum”!


Renungan Minggu Biasa ke-5: Minggu 7 Februari 2016.

Sumber bacaan:

1. Pius Pandor, CP, Ex Latina Claritas, Jakarta: Obor, 2010, h. 10.

2. Bacaan-bacaan hari Minggu Biasa ke-5:
 Injil Al - Kitab
-Yes 6:1-2a.3-8;

- 1Kor.15:8-11; dan

- Luk. 5:1-11.
Kraeng Edi Danggur

 
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono

Tidak ada komentar:

Baca juga topik dibawah ini:
Lihat kamus di Beranda!
DAFTAR EMAIL KAMU UNTUK BERLANGGANAN UPDATE Ujung Pena NS