Saya datang kesuatu tempat dikota pendidikan kecil, dimana
saudara – saudara etnis ada disitu mereka berkumpul satu rumah tinggal bersama
kuliah dibeberapa kampus yang berbeda dikota kecil yang sejuk, saya memahami
bahwa mereka sangat tertarik dengan segala yang melekat pada diri saya, awalnya
mereka sangat angkuh namun saya tak berkata sekatapun lewat lisan, saya tau
betul mereka anak – anak yang baru seumuran belia mengenal dunia internet masih
sangat gandrung untuk mengakses dunia internet. Awal yang menyakitkan masuk
kedalam pergaulan mereka yang segalanya penuh dengan gaya hedonisme, sedang
mencari identitas dan membutuhkan pengakuan tentang kehebatan mereka dari luar
diri masing – masing person, pertama kedatangan saya memperhatikan mereka tidak
memilika dasar sebuah mode fashion, selang beberapa hari kemudian beberapa
orang dari mereka mengikuti cara alias gaya berpakaian saya yang tidak sengaja
kebetulan cocok dengan postur tubuh saya diujung celana jeans yang saya gunakan
tepat kelihatan digulung dua gulungan berada diatas mata kaki, pertama karena
alasan agama bahwa segala kain yang berada dibawa mata kaki hukumnya haram
tempat dineraka setelah kematian untuk laki - laki, kemudian kedua saya merasa
nyaman jika celana jeans yang saya kenakan digulung dengan dua gulungan tepat
berada diatas mata kaki, dalam hati sangat geli terbahak – bahak cekakak –
cekikikan memperhatikan tingkah mereka yang mengikuti gayaku yang spontan tanpa
refrensi fashion dari manapun, sembari bertanya alasan apa mereka mengikuti
gaya ini yang kebetulan, hanya saja waktu itu memiliki beberapa potongan
pakaian termasuk dua celana yang saya belanja disebuah pusat perbelanjaan
dikota itu kedua ujung kaki celana itu kepanjangan, tapi tak apa mereka mengikuti
segala gaya yang melekat ditubuh ini siapa tau mereka fans, ada lagi tas yang
saya gunakan untuk menyimpan beberapa potongan pakaian juga mereka tiru dengan
membeli tas yang mirip dengan tasku, baju juga yang saya kenakan diminta,
karena saya hanya memiliki beberapa koleksi potongan baju kaos makanya tidak
saya berikan, padahal saya melihat mereka memiliki koleksi baju kaos bagus –
bagus juga hems yang tidak kalah keren dengan milik para eksekutive hehehe.
Disuatu siang datang seorang tamu yang sedang menyelesaikan
pendidikan pasca sarjana jurusan hukum disalah satu kampus terkenal di kota
itu, sebut saja nama tamu itu Jenang, ka’e jenang begitulah saya menyapa akrab
tamu yang datang dikontrakan saudara – saudara seetnis dikota kecil itu, tamu
itu memulai pembicaraan seperti biasanya jika kedatangan tamu yang dipandang –
pandang dan diketahui memiliki tingkatan strata pendidikan akademik lebih
tinggi dari mereka sekontrakan maka mereka segan untuk memulai lebih awal
pembicaraan, kalau mau bicara tunggu pembicaraan dari si pemilik strata
pendidikan tinggi ini karena jenang waktu itu belum bicara maka mereka hanya
diam, menunggu pembicaraan dari ka’e jenang baru mereka bicara, setelah
pembicaraan sudah hampir bersuara semua menyuarakan tentang Bab skripsi, ada
yang bilang skripsi lima bab, ada lagi yang bilang empat bab, seorang yang
duduk dipojok dekat jendela depan saklar bilang enam bab, ditengah – tengah
perdebatan tanpa refrensi dan tanpa pengetahuan itu lalu saya berusaha untuk
terlihat bodoh padahal bodoh benaran biar dikira bodoh benaran hahaha, seorang
melemparkan pertanyaan ditujukan pada saya yang sejak dari tadi menundukan wajah sembari tertawa lebar terbahak – bahak
dalam diam namun meronta memperhatikan tontonan kebodohan yang terpampang penuh
percaya diri sejak awal, tidak hanya siang itu saya lihat, “pisa bab leng
skripsi o da ka’e?” dengan nada menguji dan senyuman sindir penuh perasaan dan
harapan agar saya tidak mampu dan tidak mengetahui bab skripsi standar
pendidikan dikampus negeri, saya hanya diam perlahan – lahan mengangkat kepala
yang sejak tadi tertunduk tegun memetik pelajaran meneguk hikmah bersama air
ludah yang tertelan kedalam rongga tenggorokan dari perdebatan kusir tanpa
dasar pengetahuan yang mereka pertontonkan, “Tiga bab” sahutku, yang bertanya
tadi malah ketawa panjang lebar penuh olokan, cibiran, dan penghinaan yang
tidak sangat menyakitkan. Karena saya tau betul dia belum pernah buat skripsi
baru semester tujuh dan orang ini
berkeperibadian angkuh dan percaya diri tinggi juga kenyataan dirinya tidak
punya pengetahuan, tidak memiliki skill, tidak mutu, sukanya hanya sensasi dan
cari muka.
Pada kesempatan siang itu saya mengutip: “Generasi muda yang terdidik dipendidikan
formal era abad 22 diindonesia asal manggarai sudah dipengaruhi oleh gaya bar –
barian yang tidak terbendung, karena pendidikan tidak bisa mengendalikan
kesadarannya sebab kesadaran itu tidak pernah ada niat dari dalam dirinya untuk
memunculkannya dalam sebuah sikap moral layaknya orang terdidik, pendidikan itu
hanya berlaku dalam diskusi kajian subjek saja tidak dengan penyederhanaan
dalam sebuah tindakan, artinya tanpa meninggalkan bekas prilaku, tindakan,
perbuatan dirinya dari efek moral pendidikan itu sendiri, kesadaran yang muncul
adalah lingkungan kesadaran gaya barat yang sudah terbiasa menjadi kebiasaan
lama yang telah terbiasa.” (Nacha Sujono at: 08.01 Malang, 13 januari 2016)
Pandean
Malang
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar