Sejarah kita berbicara tentang kekuasaan politik.
Siapa yang menang dalam pertarungan merebut kekuasaan, itulah yang ditulis
dalam sejarah. Subjektivitas dalam penulisan sejarah pun sulit dihindari. Di
masa Orde Baru, buku-buku sejarah kita menonjolkan pribadi pemenang, mereka
dielu – elukan sebagai “pahlawan” yang berhasil menjungkilkan penguasa Orde
Lama saat itu.
Mengapa para ahli sejarah hanya menulis tentang kekuasaan politik? Sejarah tidak pernah cerita tentang agama, puisi, sastra, atau tentang berbagai cabang kesenian lainnya?
Sejarah Kekuasaan
Karl R. Popper, dalam artikelnya berjudul: Apakah Sejarah Itu Mempunyai
Arti? mengatakan bahwa paling tidak ada 3 (tiga) alasan mengapa kekuasaan
politik itu menjadi tema sentral penulisan sejarah.
Pertama, kekuasaan mempengaruhi seluruh
umat manusia dengan segala aspek kehidupannya, sedangkan agama, puisi atau
sastra hanya mempengaruhi sebagian kecil dari umat manusia. Nasib manusia banyak ditentukan oleh para
pemegang kekuasaan politik dan bukan oleh penulis puisi atau sastrawan.
Kedua, manusia itu cenderung memuja
kekuasaan. Karl R. Popper bilang,
tidak dapat diragukan lagi, pemujaan kekuasaan adalah salah satu bentuk
pemujaan berhala paling buruk dalam sejarah, yang merupakan salah satu
peninggalan dari jaman perbudakan.
Pemujaan
kekuasaan lahir dari ketakutan akan perbudakan. Orang harus berlomba-lomba
untuk mendapatkan kekuasaan agar tidak menjadi budak, bahkan dengan kekuasaan
itu orang menjadi punya banyak budak.
Ketiga, kekuasaan politik menjadi inti
penulisan sejarah karena memang dalam diri manusia itu punya naluri berkuasa. Kekuasaan
yang dipegangnya itu menyatu dengan naluri ingin dipuja. Bahkan dengan kekuasaan itu pula mereka
berupaya memaksa masyarakat agar memuja mereka (Baskara T. Wardaya, SJ,
2004:22).
Kehidupan Tak Berjiwa
Bagaimana seharusnya kekuasaan
itu digunakan?
Kekuasaan yang dijalankan hanya sekedar pemuas dahaga kekuasaan atau semata –
mata untuk mengobral naluri berkuasa adalah sebuah kehidupan yang kosong dan
tidak berjiwa. Sebab, mereka yang berkuasa itu kehilangan jiwa mereka.
Dalam
buku berjudul The Way to Love,
Anthony de Mello SJ (2011:1-4) menggambarkan kehidupan para pemegang kekuasaan
yang seperti itu bagai sekelompok
wisatawan yang duduk dalam bus yang melaju di daerah yang berpemandangan indah.
Ada danau, gunung, padang hijau dan aliran sungai berkelok – kelok yang seharusnya
dapat dinikmati sepanjang perjalanan.
Namun,
mereka justru menutup tirai jendela bus. Mereka
tidak tahu apa yang ada di balik tirai. Sebab, sepanjang perjalanan itu mereka hanya bertengkar tentang siapa yang
paling berkuasa di antara mereka yang dapat duduk di kursi kehormatan dalam bus
itu, siapa yang pantas dapat pujian, siapa yang akan dihormati. Ironisnya,
kelakuan para penumpang itu justru terjadi sampai perjalanan itu berakhir.
Kisah Anthony de Mello tersebut menggambarkan bahwa para pemegang kekuasaan itu terlalu
sibuk dalam upaya promosi diri dan pemujaan diri: agar mereka disetujui,
diterima dan disanjung. Mereka selalu bernostalgia dengan kesuksesan mereka
mendapatkan kekuasaan itu, bangga menjadi nomor satu, sekalipun kontestasi
menuju pemenang itu kotor dan curang.
Mereka
tenggelam dalam rasa bangga mempertontonkan kekuasaannya, bangga jadi bos!
Dengan kekuasaan itu, orang begitu menghormati dan siap menjalankan semua
perintah mereka. Mereka pun jadi semakin populer. Walaupun mereka sadar bahwa
semua perasaan bangga itu sangat tidak alami, karena hanya menghasilkan
getaran, gairah dan kehampaan, dan tidak menghasilkan nutrisi kebahagiaan.
Kekuasaan Sebagai Sarana
Tidak
salah jika Anthony de Mello mengajukan pertanyaan retoris ini: “Apalah gunanya
seseorang memperoleh kekuasaan, yang luasnya sejagat sekalipun, tetapi
kehilangan jiwa, nyawa dan kebahagiaannya?”
Maka
kekuasaan bukanlah tujuan tetapi hanya sebagai sarana untuk pemenuhan diri dan
pemenuhan perasaan jiwa. Hanya dengan itu maka mereka akan benar-benar
menikmati pekerjaan mereka, penuh keakraban dan persahabatan dengan siapa saja,
penuh canda dan tawa.
Hanya dalam kekuasaan yang demikian, mereka bisa
sampai pada puncak penghayatan bahwa kekuasaan hanya sebuah label, yang hari ini
ada dan mungkin esok akan hilang lenyap entah kemana. Oleh karena itu,
kekuasaan harus dipandang pula sebagai kesempatan untuk melayani dan
mensejahterakan banyak orang (bonum
commune).
Kraeng Edi Danggur
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar