Kita sering menyaksikan diskusi para lawyer yang
tergabung dalam Indonesian Lawyers Club (ILC)
melalui layar kaca TVOne. Penonton disuguhi debat sengit di antara para
praktisi hukum tersebut.
Walaupun
mereka sama – sama berprofesi sebagai lawyer, tetapi mereka tidak mempunyai
pendapat yang sama mengenai suatu masalah yang sedang mereka diskusikan. Orang
Jerman bilang: “Noch Suchen Die Juristen
Eine Definition Zu Ihrem Begriffe Von Recht” (para ahli hukum tidak
mempunyai definisi yang sama tentang apa itu hukum).
Alasannya,
para lawyer itu mempunyai cara pandang dan latarbelakang yang berbeda dalam
memandang hukum, bahkan dalam memahami persoalan tertentu. Ya, seperti kata
orang Romawi: “Actor Sequitur Esse” (orang
berperilaku, berbicara atau ber-argumentasi selalu mewakili keberadaannya).
Ada
lawyer yang melihat hukum itu sebagai rentetan pasal-pasal belaka. Sedangkan
lawyer lainnya memandang bahwa pasal-pasal atau undang-undang hanyalah salah
satu sumber hukum dan bukan sumber hukum satu – satunya dalam menyelesaikan
suatu persoalan dalam masyarakat. Artinya masih sumber hukum lainnya: hukum
adat, doktrin hukum, yurisprudensi, perjanjian atau traktat internasional dan
sebagainya.
Memang,
tidak semua orang, terutama orang yang awam hukum, bisa begitu mudah menerima
perbedaan pendapat di kalangan lawyer itu. Masyarakat pun main pukul rata saja
bahwa lawyer itu adalah kumpulan orang-orang yang lihai dalam berdebat atau
suka membantah dan menyangkal.
Penilaian
seperti itu adalah bukti bahwa di dalam pikiran masyarakat awam bercampur aduk
rasa hormat dan ejekan terhadap pengacara. Dalam situasi dan kondisi tertentu
para lawyer itu dihormati dan dipuji.
Itu
karena memang kebanyakan dari mereka menempati posisi tinggi, tidak saja dalam
organisasi profesi mereka tetapi juga dalam instansi pemerintahan, instansi
penegak hukum (kejaksaan, pengadilan bahkan kepolisian). Mereka juga jadi
konsultan hukum di perusahaan – perusahaan swasta nasional maupun perusahaan asing.
Lawyer
pun dicari kaum awam hukum untuk dimintakan pendapat hukumnya bahkan
pendampingan saat masyarakat awam menghadapi masalah-masalah hukum. Tetapi pada
saat yang sama, para lawyer juga diejek dan dicemooh. Mereka sering dicap sebagai ahli silat lidah bahkan dicap
penipu.
Jerome
Frank (1889-1957), seorang filsuf hukum, mantan hakim, pengacara terkenal dan
intelektual bidang hukum, dalam bukunya berjudul Law and The Modern Mind
memberikan penjelasan yang cukup panjang mengapa profesi lawyer itu dicintai,
dicari, dipuji dan dihormati? Tetapi mengapa pada saat yang sama, para lawyer
justru dicela, diejek bahkan dicaci maki?
Jerome
Frank bilang, tidaklah sulit untuk
menjelaskan mengapa pengacara begitu dihormati. Sebab, pengacaralah yang
mempertahankan prinsip-prinsip dan asas-asas keadilan, merekalah tempat kaum
awam mencari perlindungan hukum, tempat kaum awam mempertahankan kesucian hak
milik mereka dari rampasan pihak lain. Inilah lahan pelayanan para lawyer
di tengah masyarakat. Fungsi – fungsi semacam ini yang memberikan martabat
kehormatan kepada pengacara.
Tetapi
mengapa pada saat yang bersamaan, rasa hormat pada profesi lawyer itu, muncul
pula penghinaan atau sinisme pada profesi pengacara itu sendiri? Martin Luther King pernah mengatakan: “seorang pengacara yang baik, pastilah ia
seorang penganut agama kristen yang paling buruk”. Itu dia ungkapkannya
pada abad ke-16.
Komedian
panggung selalu membuat orang bisa tertawa dengan permainan kata – kata mereka,
termasuk bagaimana para komedian memandang profesi pengacara itu. Di mata para komedian, pengacara itu
identik dengan pembohong. Bisa terlihat dari salah satu bait puisi dari komedian Gay berikut:
“Aku tahu kalian para pengacara.
Dengan keahlianmu, kamu bisa
dengan mudahnya memelintir kata – kata
Dan memberikan arti pada kata –
kata itu dengan sesuka hati kamu.
Dengan keahlianmu, bahasa menjadi
beku dan liat.
Kamu pun dapat membuat klienmu
bertekuk lutut di hadapanmu”.
Josh
Billings justru tidak sabar dan tidak perlu memakai kata yang berputar – putar untuk
mengungkapkan ketidaksukaannya pada profesi pengacara itu:
“Menyelesaikan suatu masalah melalui ranah hukum.
Dengan menggunakan jasa pengacara
bagaikan menguliti sapi yang baru menghasilkan susu. Peternak mendapatkan
kulitnya, sedangkan dagingnya diberikan kepada pengacara”.
Dalam
bukunya berjudul “Hudibras”, Butler
mengemukakan sinismenya terhadap profesi pengacara:
“Orang
yang sudah mengalami kerugian, tetapi justru minta jasa pengacara untuk
mendapatkan pertolongan, adalah orang-orang yang lebih pandir daripada orang –
orang Skotlandia. Mengapa? Orang Skotlandia, kalau ada seorang pencuri yang
telah merampok seluruh isi rumahnya, ia justru mencari dan meminta bantuan pada
orang yang licik dan rakus harta, untuk membantunya mendapatkan
barang-barangnya lagi”.
Tanpa
tedeng aling – aling, Arnold Bennet
mencela profesi pengacara:
“Pengacara
adalah musuh paling jahat dalam perkembangan sosial saat ini”. Ia senafas
dengan Ambassador Page yang mengatakan: “Saya kadang berharap tidak pernah ada
pengacara di dunia ini”.
Semua
cemoohan, sinisme, ejekan itu berangkat dari pengalaman pribadi orang – orang awam
hukum di tengah masyarakat bahwa para pengacara
itu sering bermuka dua, berperilaku
“karaoke” (kanan kiri oke),
mengabaikan konflik kepentingan dalam menangani perkara. Perkataan – perkataan yang mereka ucapkan sering bermakna ganda.
Mereka
juga sering terlibat dalam penipuan dan permainan bisnis perkara.
Berargumentasi berputar-putar semata-mata untuk menyelamatkan klien mereka
tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, dan akhirnya mereka
tenggelam dalam praktek kemunafikan.
Di sinilah tantangan bagi para pengacara
bagaimana mereka memantaskan diri
dalam berperilaku di tengah masyarakat. Untuk meminimalisasi penilaian negatif
dari kaum awam maka para lawyer seyogyanya memegang teguh etika profesi bahwa
profesi bukan semata-mata sebagai sumber nafkah tetapi dari itu bahwa profesi
sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri dan sarana untuk melayani sesama
demi tercapainya kesejahteraan bersama (bonum
commune).
Yang mau update Artikel ilmiah, Cerpen, Sajak, Puisi, Opini, Berita, Video dan Foto Follow twitter Nacha sujono